Anak Seorang Regent, Jiwa Seorang Pembaharu: Masa Kecil Kartini di Tengah Adat Jawa
- Bicara Tokoh
Jepara, WISATA – Tulisan ini disusun berdasarkan esai kenangan pribadi karya Marie Ovink‑Soer tentang Raden Adjeng Kartini, tokoh emansipasi perempuan Jawa. Marie Ovink‑Soer adalah seorang wanita Belanda yang mengenal Kartini secara dekat ketika tinggal di Jepara. Dalam tulisannya, Marie menceritakan pengalaman pribadi, pengamatan, dan interaksinya selama tujuh tahun bersama Kartini dan keluarganya, yang memberi gambaran mendalam tentang pemikiran, perjuangan, dan karakter Kartini dalam konteks budaya Jawa kala itu. Artikel ini merupakan bagian kedua dari rangkaian sepuluh seri berita bersambung.
Jepara dan Lingkungan Priyayi Kartini
Raden Adjeng Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, sebagai putri kedua Raden Adipati Joyodiningrat, Regent (bupati) Jepara. Meskipun sering disebut “putri istana”, Kartini sebenarnya adalah anak seorang Regent—gelarnya Regents‑dochter, bukan anggota keraton Solo atau Yogyakarta. Keluarga Kartini termasuk golongan priyayi, kelas sosial tertinggi dalam struktur Jawa kolonial.
Di kediaman Regent Jepara, adat Jawa dijaga sangat ketat. Tiap langkah dan tutur kata perempuan dirancang sesuai aturan adat, yang menuntut sopan santun berlebih, kerendahan hati mutlak, dan pengekangan ruang gerak. Halaman belakang rumah menjadi “wilayah perempuan”: tempat mereka belajar membatik, merajut, dan menjalani kehidupan domestik. Sementara itu, laki‑laki bebas berkelana, menimba ilmu, atau terlibat urusan pemerintahan.
Tiga Saudari “Kaboepaten” dan Panggilan “Moedertje”
Menurut Marie Ovink‑Soer, sapaan “Moedertje” (Ibu kecil) menunjukkan betapa dekatnya ia dengan Kartini dan dua adik perempuannya, Roekmini dan Kardinah. Ketiganya kerap dipanggil “meisjes van kaboepaten” (gadis‑gadis kaboepaten), merujuk pada rumah megah Regent Jepara.
1. Roekmini, saudari sulung yang kemudian dinikahkan dan pindah ke Semarang.