Anak Seorang Regent, Jiwa Seorang Pembaharu: Masa Kecil Kartini di Tengah Adat Jawa
Minggu, 20 April 2025 - 02:05 WIB
Sumber :
- Bicara Tokoh
- Poligami dianggap wajar oleh masyarakat—laki‑laki boleh menikahi hingga empat istri, sementara perempuan tak punya hak serupa.
- Perjodohan paksa membuat gadis tak pernah mengenal calon suaminya sebelumnya, sehingga pernikahan kerap berakhir sepi atau bahkan berujung derita.
Sekolah “Tersembunyi” dan Cita‑Cita Belajar
Meski tak diizinkan masuk sekolah formal dewasa itu, Kartini menunjukkan semangat belajar yang mengagumkan. Di bawah bimbingan Marie, ia mulai:
- Membaca sastra Belanda: Setiap sore, Marie membacakan buku dan majalah. Kartini mencatat kosakata baru dalam buku catatan khusus.
- Belajar menulis: Kartini tidak hanya menulis surat pribadi, tetapi juga mengutarakan gagasan kritisnya tentang peran perempuan Jawa.
- Diskusi filosofis: Di ruang tamu yang tenang, kedua sahabat berbincang tentang kebebasan, keadilan, dan masa depan perempuan.
Marie menggambarkan betapa cepatnya Kartini menguasai bahasa Belanda hingga “seperti bahasa ibu”, dan bagaimana ia menghubungkan nilai Barat egaliter dengan kerinduan perbaikan nasib perempuan pribumi.
Protes Lembut terhadap Ketidakadilan
Baca Juga :
Kamar Kecil, Mimpi Besar: Bagaimana Perjalanan Kartini Meretas Batas melalui Surat dan Buku
Sejak kanak‑kanak, Kartini sering bertanya, “Mengapa perempuan Jawa tidak boleh mengikuti pendidikan seperti laki‑laki?” Dalam catatan Marie, Kartini pernah mengatakan:
Halaman Selanjutnya
“Perempuan juga punya akal dan hati. Mengapa kita diperlakukan seperti budak adat?”