Kartini dalam Pandangan Sahabatnya: Bukan Putri Istana, tapi Putri Perubahan
- Bicara Tokoh
Jepara, WISATA– Tulisan ini disusun berdasarkan esai kenangan pribadi karya Marie Ovink‑Soer tentang Raden Adjeng Kartini, tokoh emansipasi perempuan Jawa. Marie Ovink‑Soer adalah seorang wanita Belanda yang mengenal Kartini secara dekat ketika tinggal di Jepara. Dalam tulisannya, Marie menceritakan pengalaman pribadi, pengamatan, dan interaksinya selama tujuh tahun bersama Kartini dan keluarganya, yang memberi gambaran mendalam tentang pemikiran, perjuangan, dan karakter Kartini dalam konteks budaya Jawa kala itu. Artikel ini merupakan bagian pertama dari rangkaian sepuluh seri berita bersambung yang mengangkat sisi lain dari kehidupan Kartini, sebagaimana dialami langsung oleh sahabatnya.
Awal Pertemuan: Sekilas Tentang “Putri Adat” di Jepara
Ketika pertama kali bertemu, Marie Ovink‑Soer mengira Kartini hanya sekadar “salah satu gadis Jawa berkebaya”. Namun, di balik sopan santun adat dan pagar tembok tinggi di kediaman Regent Jepara, Maria—begitu Kartini memanggil sahabat Belandanya itu—menyimpan pemikiran yang jauh melampaui usianya.
“Di mata banyak orang – termasuk teman-temanku di Belanda – Kartini hanya dikenang sebagai ‘princess’ atau putri istana yang menulis beberapa surat. Padahal ia lebih daripada itu,” kenang Marie dalam esainya.
Padahal, Kartini bukanlah putri raja dalam arti tradisional. Ia adalah anak Regent Jepara—keturunan bangsawan yang memiliki status sosial tinggi, tetapi tanpa gelar keraton seperti di Solo atau Yogyakarta. Sebagai “Regents‑dochter”, Kartini tumbuh dalam adat Jawa yang amat ketat: perempuan tak banyak bicara, tunduk pada adat, dan tak boleh keluar dari zona nyaman di halaman belakang rumah.
Salah Kaprah Publik: “Putri Istana” yang Disangka Penulis Novel
Selama lebih dari satu dekade sejak wafatnya pada 17 September 1904, nama Kartini kerap disalahartikan. Banyak yang mengira ia penulis novel fiksi, atau setidaknya novel panjang, padahal karya tulisannya berupa surat-surat yang kemudian dihimpun oleh teman-teman Belanda menjadi buku Door Duisternis tot Licht (“Dari Kegelapan Menuju Cahaya”).