Antara Taat dan Merdeka: Perjuangan Kartini Mendobrak Dinding Adat demi Perempuan

R.A. Kartini
Sumber :
  • Bicara Tokoh

Jepara, WISATA – Tulisan ini disusun berdasarkan esai kenangan pribadi karya MarieOvink‑Soer tentang Raden Adjeng Kartini, tokoh emansipasi perempuan Jawa. MarieOvink‑Soer adalah seorang wanita Belanda yang mengenal Kartini secara dekat ketika tinggal di Jepara. Dalam tulisannya, Marie menceritakan pengalaman pribadi, pengamatan, dan interaksinya selama tujuh tahun bersama Kartini dan keluarganya, yang memberi gambaran mendalam tentang pemikiran, perjuangan, dan karakter Kartini dalam konteks budaya Jawa kala itu. Artikel ini merupakan bagian kelima dari rangkaian sepuluh seri berita bersambung.

Mengenal Zarathustra: Tokoh Misterius dalam Karya Filosofis Friedrich Nietzsche

Konteks Adat Jawa dan Peran Perempuan

Di akhir abad ke‑19, masyarakat Jawa—terutama kalangan priyayi—memegang teguh adat yang menempatkan perempuan dalam peran domestik dan subordinat. Perempuan diharapkan taat, sopan, dan tidak menggugat keputusan keluarga. Mereka menghabiskan hari dengan merajut, membatik, atau menjalankan tugas rumah tangga, tanpa akses ke pendidikan formal. Sedangkan laki‑laki bebas menuntut ilmu di sekolah pemerintah atau pesantren, serta memiliki ruang gerak publik yang luas. Dalam bingkai inilah Kartini dilahirkan, tumbuh, dan kemudian berusaha menemukan jalan agar perempuan tidak selamanya terkungkung.

Bagaimana Friedrich Nietzsche Mengubah Cara Kita Memahami Diri Sendiri?

Dilema Kartini: Taat pada Adat, Rindu Kebebasan

Kartini muda merasakan dua kekuatan besar: ketaatan pada orang tua dan adat, serta kerinduan akan kebebasan berpikir dan berkarya. Di satu sisi, ia mencintai keluarga—ayah, ibu, dan adik‑adik perempuannya—yang telah menjaganya dengan penuh kasih. Di sisi lain, ia merasakan kegelisahan melihat teman‑temannya dipaksa menikah tanpa pilihan, dan dilarang membaca buku atau menuliskan pendapat.

Epictetus: Jika Keburukan Disebarkan Tentangmu, Benahi atau Tertawakan

“Aku dilahirkan dalam rumah bertembok tinggi,” tulis Kartini kepada Marie, “namun batinku terus menggapai dunia di luar tembok itu.”

Dilema ini memantik semangat Kartini untuk mencari celah perubahan: bagaimana memenuhi kewajiban keluarga, tetapi sekaligus menunaikan panggilan hati untuk menuntut ilmu dan menyuarakan hak perempuan.

Halaman Selanjutnya
img_title