Apa Kata Neurosains tentang Stoikisme? Bukti Ilmiah di Balik Keteguhan Emosi ala Filsuf Kuno

Marcus Aurelius
Sumber :
  • Cuplikan Layar

Dalam praktik Stoik, kita diajak mengamati pikiran dan perasaan kita secara sadar, bukan larut begitu saja dalam reaksi emosional. Neurosains menunjukkan bahwa daerah otak yang bernama prefrontal cortex (PFC) sangat terlibat dalam proses ini. PFC adalah bagian otak yang berperan dalam:

  • Pengambilan keputusan rasional,
  • Pengendalian impuls,
  • Perencanaan ke depan.
“Keadaan Tak Membentuk Manusia, Tapi Mengungkapkan Dirinya” – Epictetus

Ketika seseorang berlatih menahan amarah, menimbang risiko, atau melakukan refleksi diri, PFC akan lebih aktif, sementara amigdala—bagian otak yang memicu respons "fight or flight" dan emosi negatif seperti ketakutan dan kemarahan—akan lebih terkontrol.

Kesimpulan ilmiah: Latihan Stoik seperti journaling harian atau refleksi atas peristiwa buruk membantu memperkuat jalur komunikasi antara PFC dan amigdala—meningkatkan ketenangan, ketahanan mental, dan pengendalian diri.

Seneca: Memberi dengan Ikhlas, Menerima dengan Syukur

3. Stoikisme Mirip Terapi Kognitif-Perilaku (CBT)

Donald Robertson, salah satu penulis Stoikisme modern, menyebut bahwa Stoikisme adalah nenek moyang dari Cognitive Behavioral Therapy (CBT)—terapi yang kini banyak digunakan untuk mengatasi depresi dan kecemasan.

Bagaimana Seneca Menanggapi Kematian dengan Penuh Kebijaksanaan

CBT dan Stoikisme sama-sama mengajarkan bahwa emosi negatif bukan berasal dari peristiwa itu sendiri, melainkan dari cara kita memandang peristiwa tersebut.

Halaman Selanjutnya
img_title