Fenomena Lipstick Effect: Mengapa Masyarakat Tetap Belanja Saat Ekonomi Sulit?
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA - Dalam kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian, banyak orang berpikir bahwa masyarakat akan mengurangi pengeluaran untuk hal-hal yang dianggap tidak penting. Namun, kenyataannya, industri kecantikan dan barang mewah yang terjangkau justru tetap bertahan, bahkan mengalami peningkatan penjualan. Fenomena ini dikenal sebagai Lipstick Effect.
Fenomena ini pertama kali diperkenalkan oleh ekonom Amerika Serikat, Leonard Lauder, yang mengamati bahwa selama resesi ekonomi awal tahun 2000-an, penjualan lipstik meningkat secara signifikan meskipun daya beli masyarakat menurun. Hal ini menunjukkan bahwa ketika orang tidak mampu membeli barang mewah seperti perhiasan atau pakaian mahal, mereka tetap mencari cara untuk memanjakan diri dengan membeli barang kecil yang lebih terjangkau namun tetap memberikan kepuasan emosional.
Lalu, bagaimana fenomena Lipstick Effect ini terjadi di Indonesia? Mengapa masyarakat tetap berbelanja di tengah tekanan ekonomi? Mari kita telusuri lebih dalam.
Apa Itu Lipstick Effect?
Lipstick Effect adalah teori ekonomi yang menyatakan bahwa dalam masa krisis, konsumen tetap mengonsumsi barang-barang mewah dalam skala yang lebih kecil. Dalam hal ini, barang-barang seperti kosmetik, parfum, atau aksesori dengan harga lebih terjangkau menjadi alternatif bagi mereka yang tidak bisa membeli barang mewah yang lebih mahal. Fenomena ini menegaskan bahwa dorongan untuk memanjakan diri tetap ada, meskipun dalam skala yang lebih kecil.
Misalnya, alih-alih membeli tas desainer seharga jutaan rupiah, seseorang akan lebih memilih membeli lipstik dari merek ternama dengan harga yang lebih terjangkau. Psikologi di balik keputusan ini adalah bahwa seseorang tetap ingin merasa istimewa dan mendapatkan kepuasan emosional meski dalam kondisi ekonomi sulit.
Mengapa Lipstick Effect Terjadi?