Persaingan Indonesia dan Vietnam: Pelajaran dari Dua Strategi Ekonomi yang Berbeda
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA - Beberapa waktu terakhir, dunia teknologi dikejutkan oleh kehadiran Deepseek, sebuah perusahaan asal China yang berhasil mengguncang raksasa-raksasa industri seperti Nvidia, Microsoft, Google, dan Meta. Dalam hitungan hari, saham Nvidia anjlok hingga 17%, sementara pemain besar lainnya terpaksa mengevaluasi ulang strategi mereka. Kehadiran Deepseek di bidang model bahasa kecerdasan buatan ini bak gempa di dunia teknologi. Fenomena ini mengingatkan saya pada bagaimana persaingan dan inovasi mampu mengubah lanskap ekonomi, seperti halnya perbandingan antara strategi pembangunan Indonesia dan Vietnam.
Sehari sebelumnya, saya sempat memberikan komentar di sebuah grup WhatsApp tentang pernyataan seorang teman. Teman tersebut membandingkan strategi ekonomi Indonesia dan Vietnam, dua negara dengan karakter yang sangat berbeda dalam pendekatan pembangunan ekonominya. Diskusi ini menggugah saya untuk merenungkan lebih dalam, terutama tentang bagaimana kita sebagai bangsa bisa belajar dari strategi negara tetangga.
Teman saya menyebutkan, “Indonesia cenderung mengandalkan penjualan sumber daya mentah seperti energi, sementara Vietnam fokus pada investasi di sektor-sektor yang memberikan dampak menyeluruh, seperti logistik, ekspor, pariwisata, dan budaya.” Pernyataan ini membuat saya tergerak untuk memberikan analogi sederhana.
Indonesia: Anak Kaya yang Mengandalkan Warisan
Ekonomi Indonesia saat ini dapat diibaratkan seperti anak-anak dari keluarga kaya yang hidup dari warisan orang tuanya. Kekayaan berupa sumber daya alam seperti batu bara, minyak bumi, gas, hingga hasil hutan terus dikeruk dan dijual. Sayangnya, hasil dari penjualan ini banyak digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan yang sebenarnya bisa kita produksi sendiri, seperti bahan pangan.
Bayangkan saja, sebuah keluarga besar yang hidup dari harta warisan. Sebagian kecil anggota keluarga menikmati kekayaan itu untuk berpesta, sementara yang lainnya hanya bisa menonton dan mengeluh. Ketimpangan ini semakin diperparah ketika tidak ada upaya serius untuk memperbaiki sistem yang mendukung kesejahteraan bersama.
Saya sering berpikir, bagaimana jika kita mengelola kekayaan alam ini dengan lebih bijaksana? Bagaimana jika hasilnya diinvestasikan untuk membangun sektor-sektor yang mampu menciptakan nilai tambah? Sayangnya, hingga kini, fokus kita masih sering terjebak pada eksploitasi jangka pendek daripada investasi jangka panjang. Contohnya, pengelolaan sumber daya alam sering kali tidak dilengkapi dengan program diversifikasi ekonomi yang berkelanjutan. Akibatnya, ketika sumber daya mulai habis atau harga komoditas turun, kita pun rentan terhadap krisis ekonomi.