Epictetus: Tentang Mengampuni dan Memaafkan dengan Hati Terbuka
- abackpekerstate
Jakarta, WISATA - Di tengah dunia yang penuh gesekan, perbedaan pendapat, dan luka emosional, memaafkan kadang terasa seperti hal yang sulit dilakukan. Namun, bagi filsuf Stoik kuno bernama Epictetus, memaafkan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan batin yang menuntun kita menuju ketenangan jiwa.
Epictetus bukan hanya berbicara tentang filsafat di ruang debat. Ia hidup sebagai budak, kemudian menjadi guru kebajikan, dan segala ajarannya lahir dari pengalaman hidup yang penuh penderitaan. Ia tahu rasanya disakiti, dihina, dan diperlakukan tak adil. Namun dari situ, ia menyusun jalan menuju kebebasan sejati—bukan melalui pembalasan, tapi melalui pemahaman dan pengampunan.
Mengapa Kita Perlu Memaafkan?
Menurut Epictetus, setiap manusia memiliki keterbatasan. Ia berkata, “Orang berbuat jahat bukan karena ingin menjadi jahat, tapi karena tidak tahu jalan yang benar.” Pandangan ini mengajak kita melihat bahwa di balik kesalahan orang lain, sering kali tersembunyi kebodohan, ketakutan, atau luka lama yang belum sembuh.
Dengan memaafkan, kita bukan berarti membenarkan perbuatan salah. Sebaliknya, kita sedang membebaskan diri dari kemarahan yang menggerogoti hati. Epictetus percaya bahwa dendam adalah beban batin. Semakin kita menggenggamnya, semakin besar penderitaan yang kita rasakan.
Mengampuni Adalah Tindakan Orang Bijak
Dalam Stoikisme, orang bijak adalah mereka yang bisa menguasai emosi dan bertindak berdasarkan kebajikan. Memaafkan bukan sekadar tindakan sosial, tapi praktik kebijaksanaan. Ini berarti kita tidak membiarkan emosi negatif mengendalikan hidup.