Epictetus dan Konsep Kehidupan yang Layak Dijadikan Panutan

Epictetus Filsuf Stoik
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Jakarta, WISATA - Di tengah riuhnya kehidupan modern yang penuh tuntutan, ketergesaan, dan pencitraan, muncul kembali ketertarikan terhadap ajaran-ajaran kuno yang menenangkan jiwa dan menuntun pikiran. Salah satunya adalah ajaran Stoikisme dari Epictetus, seorang filsuf yang pernah menjadi budak namun justru mengajarkan dunia tentang makna kebebasan yang sejati.

“Waktu Adalah Pelatih Terbaik Bagi Kebijaksanaan”: Warisan Zeno yang Relevan Sepanjang Zaman

Dari Perbudakan Menuju Kebijaksanaan

Epictetus lahir sekitar tahun 55 Masehi di Hierapolis, yang kini terletak di wilayah Turki. Ia hidup dalam perbudakan selama bertahun-tahun sebelum akhirnya mendapatkan kebebasan. Namun justru dari keterbatasan itu, Epictetus menemukan satu harta paling berharga: kendali atas diri sendiri.

Zeno dari Citium: “Kita Memiliki Kendali atas Pikiran dan Tindakan Kita, Tetapi Bukan atas Hasil Akhirnya”

Bagi Epictetus, tidak ada yang lebih mulia dari seseorang yang mampu mengatur pikirannya sendiri, tidak terbawa emosi, dan tetap teguh dalam prinsip-prinsip moralnya. Ia menyampaikan ajaran-ajarannya dalam bentuk diskusi dan kutipan-kutipan yang hingga kini masih dianggap sebagai panduan hidup yang bernilai.

Hidup yang Layak Dihidupi

Zeno dari Citium: “Hidup Sederhana adalah Sumber Kebebasan Sejati”

Epictetus pernah berkata, "Tidak ada yang benar-benar baik atau buruk, kecuali kehendak kita sendiri." Kalimat ini menjadi dasar dari seluruh konsep Stoikisme yang ia ajarkan. Bagi Epictetus, hidup yang baik bukan diukur dari kekayaan, status sosial, atau pujian orang lain, melainkan dari bagaimana kita menyikapi kehidupan.

Dalam ajaran Epictetus, seseorang tidak perlu mencari pengakuan eksternal. Ia mengajak setiap orang untuk hidup sesuai dengan kebajikan—seperti kejujuran, kesabaran, kerendahan hati, dan disiplin diri. Inilah yang menjadikan hidup kita layak dijadikan panutan.

Halaman Selanjutnya
img_title