Epictetus dan Seni Memaknai Penderitaan Jadi Kekuatan
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA - Penderitaan adalah bagian tak terelakkan dalam kehidupan manusia. Setiap orang, dari semua latar belakang, pasti pernah merasakannya. Namun, cara kita memaknai dan merespons penderitaan itulah yang membedakan antara mereka yang tumbuh menjadi lebih kuat dan mereka yang hancur oleh rasa sakit. Dalam filosofi Stoikisme, Epictetus—seorang filsuf besar yang dulunya adalah budak—menunjukkan bahwa penderitaan bukanlah musuh, tetapi guru kehidupan yang paling jujur.
Filsuf Yunani kuno ini percaya bahwa penderitaan bukan hanya bisa dihadapi, tetapi juga bisa diubah menjadi kekuatan batin yang luar biasa. Melalui ajarannya, Epictetus mengajak kita untuk tidak lari dari rasa sakit, tetapi untuk menghadapinya dengan akal sehat, kesabaran, dan kebijaksanaan.
Penderitaan adalah Ujian, Bukan Hukuman
Epictetus tidak menulis teori dari menara gading. Ia mengalami langsung pahitnya hidup sebagai budak yang diperlakukan dengan keras. Namun, alih-alih tenggelam dalam keputusasaan, ia mengubah luka menjadi pelajaran. Ia berkata, “Difficulties are things that show a person what they are.” — Kesulitan adalah hal yang menunjukkan siapa diri kita sebenarnya.
Ajaran ini menyadarkan kita bahwa penderitaan tidak datang untuk menghancurkan, melainkan untuk menguji dan membentuk. Ia seperti api yang menguji kemurnian emas, atau seperti tekanan yang membentuk berlian. Kita tidak bisa menghindari rasa sakit, tetapi kita bisa memilih bagaimana menyikapinya.
Fokus pada Hal yang Bisa Kita Kendalikan
Salah satu prinsip utama Stoikisme adalah membedakan antara hal-hal yang bisa kita kendalikan dan yang tidak. Penderitaan sering kali datang dari hal-hal di luar kendali kita: kehilangan, penolakan, ketidakadilan, bahkan penyakit. Epictetus mengingatkan bahwa kendali kita terletak pada pikiran dan sikap kita, bukan pada dunia luar.