Kisah Para Sufi: Ibn Sab'in, Sang Sufi dari Andalusia yang Menjadi Simbol Keteguhan Ilmu dan Makrifat
- Image Creator Grok/Handoko
Karyanya itu menjadi simbol keteguhan ilmu Islam di masa transisi, ketika Andalusia mulai tenggelam dan para ulama terpecah oleh konflik. Ibn Sab’in menunjukkan bahwa kekuatan intelektual Islam bukan hanya terletak pada hafalan dan ritual, tetapi juga pada pemikiran reflektif dan kontemplatif yang mengantar manusia menuju Tuhan.
Makrifat sebagai Jalan Hidup: Cinta sebagai Tujuan Akhir
Bagi Ibn Sab’in, puncak ilmu bukan pada retorika atau debat, tetapi pada makrifat, yakni pengenalan langsung kepada Tuhan melalui pengalaman batin yang suci. Dalam berbagai tulisannya, ia menyatakan bahwa spiritualitas yang sejati hanya dapat dicapai dengan menyucikan hati, menjernihkan jiwa, dan melepaskan diri dari ilusi dunia.
Ia mengkritik keras kaum zahiriyah (tekstualis) yang menurutnya hanya sibuk dengan kulit syariat tanpa menyentuh ruhnya. Namun kritiknya bukan untuk mencela, melainkan sebagai ajakan agar umat Islam tidak melupakan dimensi terdalam dalam agama: cinta dan keintiman dengan Tuhan.
Sayangnya, keberaniannya dalam berpikir dan mengekspresikan diri membuatnya dijauhi. Ia wafat di Mekah sekitar tahun 1270 M dalam keadaan asing dan terpencil, namun jejak ilmunya tetap dikenang oleh para pencari kebenaran.
Warisan Ibn Sab’in: Kontroversi yang Melahirkan Kesadaran Baru
Warisan Ibn Sab’in memang penuh paradoks. Di satu sisi ia dihormati sebagai sufi besar dan pemikir agung, di sisi lain ia disalahpahami, bahkan dicap sesat oleh sebagian kelompok. Namun hari ini, banyak cendekiawan Muslim modern yang mulai menggali kembali pemikirannya sebagai jembatan antara tasawuf dan filsafat, antara spiritualitas dan rasionalitas.