Kisah Para Sufi: Al-Ghazali, Dari Lorong Keraguan Menuju Samudra Tasawuf

Tarian Sufi (ilustrasi)
Sumber :
  • Pixabay

Jakarta, WISATA - Dalam sejarah pemikiran Islam, jarang ada tokoh yang mengalami pergolakan batin sedalam dan sedahsyat Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, atau yang dikenal dunia sebagai Imam Al-Ghazali. Ia bukan hanya seorang teolog, filsuf, dan faqih, tetapi juga seorang sufi besar yang pernah menapaki jurang kehampaan intelektual sebelum akhirnya tenggelam dalam kedalaman samudra spiritual. Ia adalah contoh nyata bahwa bahkan para pemikir besar pun bisa mengalami krisis eksistensial yang mengguncang fondasi batin mereka.

Cahaya Hati: 25 Kutipan dari Junayd al-Baghdadi, Pemimpin Para Sufi yang Mengajarkan Diam dalam Kedalaman

Sang Pemuda Jenius dari Thus

Lahir di kota Thus, Persia (1058 M), Al-Ghazali tumbuh dalam lingkungan keilmuan yang kental. Sejak kecil, ia menunjukkan kecerdasan yang luar biasa, hingga akhirnya berguru pada Imam al-Haramain al-Juwaini, ulama kenamaan di Naisabur. Tak butuh waktu lama, Al-Ghazali menonjol di antara murid-murid lain. Ia menguasai ilmu fikih, logika, kalam, filsafat, bahkan retorika, yang kelak membuatnya dikenal sebagai intelektual terpandang.

Kisah Para Sufi: Rabiah, Perempuan Sufi yang Mengajarkan Bahwa Surga Tak Sepenting Cinta-Nya

Kariernya mencapai puncak ketika diangkat menjadi profesor utama di Universitas Nizamiyah Baghdad—lembaga pendidikan paling elit pada masa itu. Di sanalah ia mengajar, berdebat, dan menjadi pusat perhatian para ulama dan pejabat. Tapi di balik kejayaan akademiknya, tersimpan badai yang mengguncang.

Keraguan yang Mengoyak Keyakinan

Kisah Para Sufi: Maulana Rumi dan Shams, Dua Jiwa dalam Satu Cinta kepada Sang Kekasih

Pada masa inilah benih-benih kegelisahan tumbuh. Al-Ghazali mulai merasakan kekosongan. Ia mempertanyakan nilai semua pengetahuan yang ia miliki—apakah semua itu mampu menuntun kepada kebenaran hakiki? Apakah akal dapat menjangkau Tuhan? Apakah filsafat bisa menuntaskan pencarian spiritual manusia?

Krisis ini begitu dahsyat, hingga ia kehilangan suara dan kesehatannya terganggu. Dalam al-Munqidz min al-Dhalal—karya autobiografisnya yang legendaris—Al-Ghazali menuliskan dengan jujur pergolakan batinnya. Ia meragukan metode kalam, menyangsikan klaim filsafat, dan merasa ilmu formal tidak memberi kedamaian hakiki.

Halaman Selanjutnya
img_title