Memahami Tujuan dan Bentuk Dialog dalam Karya-Karya Plato: Antara Suara Karakter dan Gagasan Sang Filsuf
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA — Karya-karya Plato selama ini dianggap sebagai pondasi utama dalam filsafat Barat. Namun, cara penyampaiannya yang khas—melalui bentuk dialog dramatis tanpa narasi langsung dari sang penulis—telah memicu perdebatan panjang di kalangan filsuf dan akademisi. Pertanyaan penting yang muncul adalah: apakah mungkin kita benar-benar mengetahui keyakinan filosofis Plato, jika ia sendiri tak pernah berbicara secara langsung dalam tulisannya?
Dalam hampir seluruh karya dialogisnya, Plato memilih untuk tidak menggunakan suara dirinya sendiri sebagai narator. Ia tidak pernah secara eksplisit menyatakan “ini adalah pemikiranku”. Sebaliknya, ia menempatkan gagasan dan argumen dalam mulut tokoh-tokohnya, yang paling terkenal adalah Socrates. Namun, tidak semua dialog menampilkan Socrates secara dominan. Dalam Laws, misalnya, Socrates tidak hadir sama sekali. Sementara dalam Timaeus dan Critias, peran Socrates hanya sebatas pembuka diskusi, kemudian dilanjutkan oleh karakter lain yang menyampaikan pemaparan panjang.
Kondisi ini menimbulkan kebingungan: apakah kita boleh menyimpulkan bahwa pandangan yang diutarakan oleh karakter-karakter dalam dialog Plato mencerminkan keyakinannya sendiri? Apakah benar kita dapat berbicara tentang “filsafat Plato”? Atau justru, dengan menafsirkan secara langsung bahwa argumen seorang karakter mewakili Plato, kita telah menyalahi semangat dari bentuk dialog yang ia bangun?
Strategi Naratif yang Penuh Teka-Teki
Berbeda dengan filsuf sezamannya, Plato secara konsisten menghindari bentuk penulisan yang saat itu populer: traktat filosofis. Ia tidak menulis uraian sistematis tentang etika, logika, atau metafisika layaknya Aristoteles. Satu-satunya pengecualian mungkin terletak pada Surat Ketujuh, yang keasliannya pun masih diperdebatkan. Dalam surat tersebut, penulis—baik Plato maupun orang yang mengatasnamakannya—menyatakan bahwa hal-hal yang paling dalam dalam filsafat tidak layak ditulis, melainkan hanya disampaikan dalam percakapan privat dengan mereka yang layak.
Penolakan ini menguatkan hipotesis bahwa Plato memang sengaja menghindari menyampaikan filsafatnya secara eksplisit. Bentuk dialog ia gunakan bukan sebagai “panggung untuk mengumumkan kebenaran”, melainkan sebagai sarana bagi pembaca untuk merenung, meragukan, dan menilai sendiri validitas dari suatu argumen.
Antara Karakter dan Pengaruh Sang Penulis