Memahami Tujuan dan Bentuk Dialog dalam Karya-Karya Plato: Antara Suara Karakter dan Gagasan Sang Filsuf
- Image Creator/Handoko
Namun, meski tidak ada suara eksplisit dari Plato dalam karya-karyanya, tidak berarti bahwa sang penulis sama sekali absen. Sebaliknya, seluruh skenario—siapa yang berbicara, argumen mana yang meyakinkan, dan bagaimana respons karakter lain—dirancang sepenuhnya oleh Plato. Dengan kata lain, meski ia bersembunyi di balik dramatis personae, Plato tetap menyampaikan sesuatu.
Misalnya, dalam Republic, Socrates menyampaikan pandangan bahwa keadilan dalam jiwa adalah ketika setiap bagian jiwa menjalankan fungsinya masing-masing. Glaucon dan Adeimantus, dua tokoh utama lain dalam dialog itu, pada akhirnya menerima argumen tersebut. Apakah berarti Plato juga menyetujuinya? Jika kita bersikap netral dan hanya mencatat bahwa “Socrates berargumen demikian”, kita mungkin aman secara metodologis. Tapi jika demikian, kita mungkin kehilangan peluang untuk menggali pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh Plato sebagai penulis.
Kenyataannya, untuk memahami sepenuhnya makna dari apa yang dikatakan oleh karakter-karakternya, kita tetap harus menafsirkan niat Plato. Misalnya, ketika suatu argumen tampak sangat kuat dan meyakinkan tokoh lain, mungkinkah itu adalah cara Plato untuk meyakinkan pembacanya? Atau sebaliknya, ketika suatu karakter menyampaikan pandangan yang tampak lemah atau dangkal, apakah itu cara Plato memperlihatkan kelemahan argumen tersebut?
Tujuan Edukatif dari Dialog
Bentuk dialog bukan hanya cara untuk menyampaikan gagasan dengan lebih dramatis. Banyak kalangan filsuf berpendapat bahwa Plato sengaja menggunakan bentuk ini sebagai instrumen edukatif. Tujuannya bukan sekadar untuk menghibur atau menampilkan debat, melainkan untuk menstimulasi pembaca agar berpikir kritis dan aktif.
Dalam Laws, misalnya, karakter utama (yang tidak bernama, hanya disebut “pendatang dari Athena”) menyatakan bahwa setiap undang-undang harus disertai “preludes”—penjelasan filosofis yang memberikan dasar rasional dari hukum tersebut. Dengan kata lain, teks tertulis pun dapat memiliki nilai edukatif, sejauh ia disusun dengan tujuan yang jelas. Maka, bisa disimpulkan bahwa Plato pun menganggap dialog-dialognya sebagai bentuk lain dari “prelude”—pembuka yang mengantar pembaca pada pemahaman yang lebih dalam.
Namun Plato tidak berpikir bahwa kearifan bisa diraih hanya dengan membaca. Dalam Phaedrus, ia melalui Socrates menyampaikan bahwa buku hanyalah pengingat, bukan pengganti percakapan nyata. Buku tidak bisa menjawab pertanyaan pembacanya, tidak bisa menyesuaikan diri dengan konteks lawan bicara. Buku hanya bisa memantik memori dari diskusi-diskusi sebelumnya. Artinya, bagi Plato, teks adalah alat bantu; benih-benih pemahaman tetap harus disemai dalam dialog tatap muka dengan guru yang mumpuni.