Geger! Pekerja IT Korea Utara Tipu Perusahaan AS, FBI Bongkar Skema Licik
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA - Pihak berwenang Amerika Serikat baru saja mengungkap sebuah skema penipuan yang melibatkan pekerja TI dari Korea Utara. Tidak tanggung-tanggung, selama bertahun-tahun mereka berhasil menyusup ke puluhan perusahaan di AS dengan menyamar sebagai pekerja jarak jauh. Hasilnya? Mereka mendapatkan pemasukan ratusan ribu dolar yang sebagian besar mengalir ke rekening di China.
Lima Terdakwa dalam Kasus Besar Ini
Departemen Kehakiman AS (DOJ) pada hari Kamis (25/01) mengumumkan bahwa lima orang telah didakwa dalam kasus ini. Mereka adalah dua warga negara Korea Utara, Jin Sung-Il dan Pak Jin-Song, seorang warga negara Meksiko bernama Pedro Ernesto Alonso De Los Reyes, serta dua warga negara AS, Erick Ntekereze Prince dan Emanuel Ashtor.
Menurut DOJ, FBI berhasil menangkap Ntekereze dan Ashtor. Saat menggeledah rumah Ashtor di Carolina Utara, penyelidik menemukan "peternakan laptop"—sebuah sistem yang menggunakan laptop yang disediakan oleh perusahaan untuk menyamarkan identitas pekerja palsu ini. Alonso juga ditangkap di Belanda atas permintaan AS.
Modus Licik yang Digunakan
Bagaimana mereka bisa menjalankan aksi ini tanpa ketahuan? Menurut dakwaan, Ntekereze dan Ashtor memasang perangkat lunak akses jarak jauh seperti AnyDesk dan TeamViewer pada laptop perusahaan. Hal ini memungkinkan pekerja TI asal Korea Utara menyembunyikan lokasi mereka dan berpura-pura bekerja dari Amerika Serikat.
Tidak hanya itu, para terdakwa juga menyediakan dokumen identitas palsu, seperti paspor AS dan rekening bank, untuk mendukung penyamaran ini. Dengan cara ini, mereka berhasil mendapatkan pekerjaan di setidaknya 64 organisasi di Amerika, termasuk lembaga keuangan ternama, perusahaan teknologi di San Francisco, hingga perusahaan IT di Palo Alto.
Uang Ratusan Ribu Dolar Mengalir ke Korea Utara
Dakwaan menyebut bahwa perusahaan-perusahaan yang tertipu telah membayar sekitar $866.255 atau setara dengan Rp13,5 miliar kepada para pekerja palsu ini. Sebagian besar dana ini dicuci melalui rekening bank di China sebelum akhirnya masuk ke Korea Utara.
Tindakan ini tentu saja bukan sekadar pencurian identitas atau penipuan kerja biasa. Menurut Devin DeBacker, pejabat di Divisi Keamanan Nasional DOJ, uang yang didapatkan dari skema ini berpotensi digunakan untuk mendanai program senjata Korea Utara.
"Departemen Kehakiman tetap berkomitmen untuk mengganggu skema penghindaran sanksi yang dilakukan Korea Utara, yang berusaha menipu perusahaan AS agar tanpa sadar mendanai prioritas rezim Pyongyang, termasuk program senjata mereka," kata DeBacker dalam sebuah pernyataan resmi.
FBI Peringatkan Ancaman Serupa
Bersamaan dengan pengumuman dakwaan ini, FBI juga merilis peringatan kepada perusahaan-perusahaan AS. Mereka menegaskan bahwa pekerja TI Korea Utara semakin aktif dalam aktivitas ilegal, termasuk pemerasan data dan penyusupan ke jaringan internal perusahaan.
Badan tersebut menyebut bahwa para pekerja TI ini menggunakan akses ilegal mereka untuk mencuri data sensitif, membantu aksi kejahatan siber, dan bahkan menggunakan perusahaan tempat mereka bekerja sebagai sumber pendapatan bagi rezim Korea Utara.
Tak hanya itu, beberapa kasus juga menunjukkan bahwa mereka menyusup lebih dalam ke sistem perusahaan dan mencuri informasi berharga yang dapat digunakan untuk serangan lebih besar di masa depan.
Waspada Terhadap Pekerja Jarak Jauh Palsu!
Kasus ini menjadi pengingat betapa pentingnya sistem keamanan siber yang ketat, terutama bagi perusahaan yang membuka lowongan kerja jarak jauh. Pemerintah AS kini semakin waspada terhadap upaya penyusupan siber yang dapat merugikan negara mereka, baik dari segi ekonomi maupun keamanan nasional.
Jadi, jika Anda seorang HR atau pemilik bisnis yang merekrut pekerja jarak jauh, jangan hanya melihat CV dan wawancara online! Pastikan ada sistem verifikasi yang kuat untuk memastikan bahwa karyawan yang Anda rekrut benar-benar berasal dari lokasi yang mereka klaim. Dunia siber memang menawarkan banyak kemudahan, tapi juga bisa menjadi ladang bagi kejahatan yang semakin canggih.