Epictetus: Siapa Pun yang Membuatmu Marah, Telah Menjadikan Dirinya Tuan Atas Dirimu

Epictetus
Sumber :
  • Cuplikan layar

Jakarta, WISATA — Filsuf Stoik terkemuka dari Yunani, Epictetus, kembali menginspirasi banyak orang dengan pemikiran mendalamnya tentang emosi dan pengendalian diri. Salah satu kutipan terkenalnya berbunyi:

Logika Menurut Aristoteles: Dasar Ilmu Pengetahuan Modern

“Siapa pun yang mampu membuatmu marah telah menjadi tuanmu; ia bisa membuatmu marah hanya ketika kamu mengizinkan dirimu terganggu olehnya.”

Kutipan ini menjadi refleksi penting tentang bagaimana kita sering kali menyerahkan kendali atas emosi kita kepada orang lain. Epictetus menegaskan bahwa kemarahan bukanlah akibat langsung dari tindakan orang lain, melainkan hasil dari reaksi batin kita sendiri terhadap tindakan tersebut.

Biografi Lengkap Aristoteles: Guru Besar Alexander Agung yang Mengubah Dunia

Emosi Adalah Pilihan, Bukan Keniscayaan

Dalam kerangka filosofi Stoikisme, kemarahan dipandang bukan sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, melainkan sebagai sesuatu yang bisa dikendalikan. Epictetus mengajak manusia untuk menyadari bahwa mereka memiliki kuasa penuh atas reaksi mereka sendiri.

Mengapa Pemikiran Aristoteles Masih Relevan di Abad ke-21?

“Jika kamu merasa marah karena seseorang menghina kamu, sebenarnya bukan hinaannya yang menyakiti, melainkan keputusanmu untuk merasa tersinggung,” ungkap Epictetus dalam salah satu pengajarannya yang kini kembali relevan di tengah tekanan sosial era digital.

Media Sosial dan Rentannya Emosi

Di era media sosial seperti sekarang, di mana opini berseliweran dan kritik mudah dilontarkan, kutipan Epictetus menjadi sangat relevan. Banyak orang menjadi marah karena komentar negatif, sindiran, atau informasi yang memicu emosi. Namun, seperti yang ditekankan Epictetus, kita hanya akan terganggu jika kita sendiri mengizinkannya.

Dr. Rendra Santosa, psikolog dan dosen filsafat dari Universitas Indonesia, menyatakan, “Kutipan ini adalah pengingat bahwa kita tak seharusnya memberikan kendali atas emosi kita kepada orang lain. Ketika kita mudah marah karena orang lain, maka secara tak sadar kita menyerahkan kekuasaan atas diri kita kepada mereka.”

Strategi Pengendalian Diri Menurut Epictetus

Agar tidak menjadi budak dari emosi negatif seperti kemarahan, Epictetus menawarkan pendekatan Stoik yang mengedepankan akal dan disiplin batin. Berikut beberapa langkah praktis yang bisa diterapkan:

1.     Berlatih Kesadaran Diri
Sadari pemicu kemarahan dan tanyakan pada diri sendiri: apakah saya benar-benar harus marah?

2.     Mengendalikan Reaksi
Latih diri untuk menunda respons emosional. Berhenti sejenak sebelum merespons sesuatu yang membuat kesal.

3.     Mempertanyakan Nilai
Apa yang sebenarnya saya nilai dalam situasi ini? Apakah ego saya yang tersakiti, atau ada hal yang lebih penting?

4.     Berfokus pada Hal yang Dapat Dikendalikan
Epictetus percaya bahwa kita tidak bisa mengontrol tindakan orang lain, tapi kita bisa mengontrol respons kita sendiri.

Dampak Positif dari Ketahanan Emosional

Kemampuan untuk tidak mudah marah bukan berarti menjadi pasif atau tidak peduli. Sebaliknya, ini menunjukkan kematangan dan kendali diri. Orang yang mampu menjaga emosinya lebih cenderung mengambil keputusan yang bijak dan tidak impulsif.

Penelitian juga menunjukkan bahwa orang yang mampu mengelola kemarahan memiliki hubungan sosial yang lebih sehat, tingkat stres yang lebih rendah, dan lebih produktif dalam pekerjaan.

Epictetus dan Relevansinya di Dunia Modern

Meskipun hidup pada abad pertama Masehi, pemikiran Epictetus tetap hidup hingga kini. Dalam dunia yang semakin gaduh dengan opini dan konflik, filosofi Stoik menawarkan kedamaian batin dan keteguhan pikiran yang semakin langka.

“Stoikisme bukan tentang menahan perasaan, tetapi memahami perasaan. Ini adalah seni hidup dengan sadar dan bijak,” ujar Anita Wulandari, seorang praktisi mindfulness yang sering merujuk pemikiran Epictetus dalam sesi pelatihannya.

Penutup

Kutipan Epictetus tentang kemarahan bukan sekadar kalimat bijak, tapi merupakan ajakan untuk mengambil kembali kendali atas emosi kita sendiri. Dengan menyadari bahwa kita memiliki kuasa penuh untuk tidak tersinggung atau terganggu, kita membebaskan diri dari dominasi orang lain atas kehidupan batin kita.

Epictetus mengingatkan kita bahwa siapa pun yang bisa membuat kita marah telah menjadi tuan atas kita — tetapi hanya jika kita mengizinkannya. Maka dari itu, dalam setiap interaksi, pertahankan kekuasaan itu. Jangan serahkan kendali emosional kita pada siapa pun.