Logika yang Membumi: Belajar Berpikir Jernih dari Madilog
- Cuplikan layar
- Menentukan apakah informasi yang beredar di WhatsApp benar atau hoaks.
- Menilai janji-janji kampanye politik.
- Mengelola keuangan pribadi dengan masuk akal.
- Menganalisis kebijakan pemerintah.
- Membuat keputusan berdasarkan data, bukan hanya emosi.
Tan Malaka dengan tegas mengkritik kebiasaan berpikir yang hanya berdasarkan kebiasaan, tradisi, atau perasaan. Ia menyebutnya logika mistika. Sebuah cara berpikir yang tidak bertumpu pada realitas dan bukti, tetapi pada keyakinan yang tidak dapat diuji.
Madilog dan Kurikulum Pendidikan Kita
Salah satu kritik yang paling relevan terhadap Madilog adalah kenyataan bahwa pemikiran logis belum menjadi bagian integral dari sistem pendidikan di Indonesia. Kita banyak diajarkan untuk menghafal, bukan untuk menganalisis. Anak-anak dibiasakan menjawab soal pilihan ganda, tetapi jarang dilatih menyusun argumen.
Tan Malaka sebenarnya telah memberi isyarat bahwa pendidikan harus melatih manusia untuk berpikir. Ia percaya bahwa berpikir logis bukan bakat, tetapi bisa dilatih seperti keterampilan lainnya. Namun, sampai hari ini, pembelajaran logika seringkali hanya disentuh di tingkat perguruan tinggi dan bahkan itu pun terbatas pada jurusan tertentu.
Bayangkan jika sejak SD atau SMP anak-anak diajak untuk bertanya:
- "Mengapa sesuatu itu benar?"
- "Apa buktinya?"
- "Bagaimana cara membuktikan suatu pendapat?"