Logika yang Membumi: Belajar Berpikir Jernih dari Madilog

Madilog, Tan Malaka
Sumber :
  • Cuplikan layar

  • Menentukan apakah informasi yang beredar di WhatsApp benar atau hoaks.
  • Menilai janji-janji kampanye politik.
  • Mengelola keuangan pribadi dengan masuk akal.
  • Menganalisis kebijakan pemerintah.
  • Membuat keputusan berdasarkan data, bukan hanya emosi.
Albert Camus: “Kebutuhan untuk Selalu Benar adalah Tanda Pikiran yang Dangkal”

Tan Malaka dengan tegas mengkritik kebiasaan berpikir yang hanya berdasarkan kebiasaan, tradisi, atau perasaan. Ia menyebutnya logika mistika. Sebuah cara berpikir yang tidak bertumpu pada realitas dan bukti, tetapi pada keyakinan yang tidak dapat diuji.

Madilog dan Kurikulum Pendidikan Kita

Albert Camus: “Kemajuan Sejati Terletak pada Keberanian Mengakui Kesalahan Sendiri”

Salah satu kritik yang paling relevan terhadap Madilog adalah kenyataan bahwa pemikiran logis belum menjadi bagian integral dari sistem pendidikan di Indonesia. Kita banyak diajarkan untuk menghafal, bukan untuk menganalisis. Anak-anak dibiasakan menjawab soal pilihan ganda, tetapi jarang dilatih menyusun argumen.

Tan Malaka sebenarnya telah memberi isyarat bahwa pendidikan harus melatih manusia untuk berpikir. Ia percaya bahwa berpikir logis bukan bakat, tetapi bisa dilatih seperti keterampilan lainnya. Namun, sampai hari ini, pembelajaran logika seringkali hanya disentuh di tingkat perguruan tinggi dan bahkan itu pun terbatas pada jurusan tertentu.

Mengapa Filsafat Stoik Relevan di Era Digital? Ini Kata Massimo Pigliucci

Bayangkan jika sejak SD atau SMP anak-anak diajak untuk bertanya:

  • "Mengapa sesuatu itu benar?"
  • "Apa buktinya?"
  • "Bagaimana cara membuktikan suatu pendapat?"
Halaman Selanjutnya
img_title