Logika yang Membumi: Belajar Berpikir Jernih dari Madilog

Madilog, Tan Malaka
Sumber :
  • Cuplikan layar

Tan Malaka mungkin telah menulis MADILOG lebih dari 80 tahun lalu, tetapi ajakannya untuk berpikir logis, rasional, dan ilmiah justru terasa semakin relevan di tengah arus informasi yang liar di era digital saat ini.

Zeno dari Citium: Menemukan Keseimbangan Hidup dengan Alam di Tengah Modernitas

Jakarta, WISATA - Ketika Tan Malaka menulis Madilog pada masa penjajahan Jepang, ia tidak hanya sedang menyusun teori filsafat. Ia sedang merancang “alat berpikir” untuk bangsa yang, menurutnya, masih terbelenggu oleh mistik, tahayul, dan pola pikir dogmatis. Dalam pendahuluan bukunya, ia menyoroti bahwa bangsa Indonesia saat itu masih miskin ilmu logika, serta terbiasa menerima tanpa mengkritisi.

"Madilog", singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika, adalah usaha besar Tan Malaka untuk mengajarkan cara berpikir yang kritis dan terukur. Dari ketiga unsur tersebut, logika menjadi pondasi utama dalam menyusun argumen dan menyaring kebenaran.

Makna Penghinaan Menurut Epictetus: Bukan Apa yang Dikatakan Orang, Tapi Bagaimana Kita Menyikapinya

Logika bagi Tan Malaka bukan sekadar teori. Ia adalah alat hidup. Ia dipakai untuk menimbang, menganalisis, dan mengambil keputusan berdasarkan fakta, bukan perasaan, keyakinan buta, atau tekanan sosial.

Mengapa Logika Penting di Era Sekarang?

Seneca: “Segala Kekejaman Berasal dari Kelemahan” — Sebuah Refleksi Filosofis tentang Sumber Kekerasan

Jika pada masa Tan Malaka masyarakat mudah percaya pada tahayul, maka hari ini kita menghadapi bentuk tantangan yang berbeda tapi serupa: disinformasi. Masyarakat dengan mudah termakan oleh hoaks, teori konspirasi, dan narasi palsu di media sosial. Sebagian besar karena logika tidak diajarkan sebagai keterampilan hidup sejak dini.

Logika bukan hanya untuk debat filsafat. Ia dibutuhkan dalam hal-hal kecil seperti:

Halaman Selanjutnya
img_title