Saat Filsafat Timur dan Barat Bertemu: Refleksi Madilog untuk Dunia yang Terhubung
- Cuplikan layar
Menggali Kembali Pikiran Tan Malaka dan Relevansinya di Era Global yang Serba Terkoneksi
Jakarta, WISATA – Di era ketika internet membuat batas negara semakin kabur, dan budaya dari berbagai belahan dunia bertemu setiap detik lewat media sosial, kita semakin dihadapkan pada beragam cara berpikir, nilai, dan pandangan hidup. Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapinya? Apakah kita harus memilih antara nilai Timur yang penuh spiritualitas atau rasionalitas khas Barat? Atau mungkinkah keduanya justru bisa bersatu?
Pertanyaan ini sebenarnya sudah lebih dulu diajukan oleh Tan Malaka dalam bukunya Madilog. Ditulis pada 1943, Madilog—singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika—bukan hanya menawarkan alat berpikir ilmiah bagi rakyat Indonesia, tetapi juga sebuah jembatan pertemuan antara filsafat Timur dan Barat.
Kini, delapan dekade kemudian, kita kembali dihadapkan pada hal yang sama. Bedanya, tantangan hari ini terjadi dalam skala global, real-time, dan sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari kita.
Filsafat Timur dan Barat: Dua Kutub Pemikiran
Filsafat Timur, yang tumbuh dari tradisi Hindu, Buddha, Konfusianisme, dan Islam, banyak menekankan harmoni, keseimbangan batin, dan kebijaksanaan hidup. Ia sering menggunakan pendekatan intuitif dan mengutamakan nilai-nilai spiritual.