Socrates vs Zaman Modern: Apakah Dunia Hari Ini Butuh Lebih Banyak Filsuf?
- Cuplikan layar
Malang, WISATA- Di tengah arus informasi yang deras, media sosial yang penuh perdebatan, dan dunia yang semakin kompleks, muncul pertanyaan menarik: apakah kita masih butuh filsuf seperti Socrates? Sosok tua berjanggut dari Athena itu hidup lebih dari dua ribu tahun lalu, tanpa internet, tanpa gadget, dan tanpa algoritma. Tapi justru di zaman serba canggih ini, pemikiran dan pendekatannya terhadap hidup terasa makin relevan. Dunia berubah, tapi pertanyaan-pertanyaan mendasarnya tetap sama: Siapa aku? Apa tujuan hidupku? Apa makna kebaikan dan keadilan?
Socrates bukan sekadar tokoh sejarah. Ia adalah simbol dari semangat berpikir kritis dan keberanian untuk mempertanyakan segalanya, bahkan hal-hal yang dianggap mutlak. Di tengah masyarakat Athena yang percaya diri akan kejayaannya, Socrates hadir dengan satu sikap: kerendahan hati untuk tidak tahu.
Lalu, bagaimana jika Socrates hidup di abad ke-21? Akankah ia masih didengarkan? Ataukah ia akan dianggap pengganggu di dunia yang lebih senang dengan jawaban instan?
Zaman Modern: Penuh Jawaban, Kurang Pertanyaan
Saat ini, kita hidup di era di mana segala jawaban bisa dicari dalam hitungan detik. Google, ChatGPT, media sosial—semua memberi kita informasi dalam sekejap. Namun, justru karena terlalu mudah mendapatkan jawaban, kita mulai kehilangan seni bertanya.
Socrates mengajarkan bahwa pertanyaan yang baik lebih penting daripada jawaban yang cepat. Ia percaya bahwa melalui dialog, diskusi, dan pertanyaan yang dalam, manusia bisa mengenal dirinya sendiri dan memahami makna hidup.
Di dunia modern yang serba cepat, pendekatan ini terdengar kuno. Namun, justru karena itulah kita membutuhkannya. Di balik banjir informasi, kita butuh keheningan untuk merenung. Di balik tren dan konten viral, kita perlu pertanyaan mendalam tentang nilai dan tujuan.