Mengenal Epictetus, Filsuf Budak yang Menjadi Guru Para Kaisar
- Cuplikan layar
Mengapa ajaran Epictetus tetap bertahan hingga ribuan tahun kemudian? Jawabannya terletak pada kesederhanaan sekaligus kedalaman prinsip-prinsipnya.
Di era digital ini, kita dibanjiri informasi, opini, dan tekanan sosial dari media sosial. Banyak orang merasa terjebak dalam perbandingan yang tak sehat, mengejar validasi eksternal, dan merasa tidak cukup hanya karena tidak terlihat “sempurna” di dunia maya.
Epictetus hadir sebagai suara ketenangan: “Jika kamu ingin berkembang, jangan takut untuk dianggap bodoh atau berbeda.” Ajaran ini mendorong kita untuk hidup sesuai nilai pribadi, bukan standar luar yang berubah-ubah.
Ia juga mengajarkan seni menerima: tidak semua hal harus dikontrol, tidak semua hal bisa kita ubah. Kadang, yang perlu diubah hanyalah cara kita memandang sesuatu.
Kebebasan Sejati Ada dalam Kendali Diri
Epictetus tidak mengajarkan untuk pasrah atau menyerah. Ia justru mendorong kita menjadi “penguasa atas diri sendiri”. Dalam bukunya, ia menegaskan: “Tak seorang pun benar-benar bebas jika ia belum menguasai dirinya sendiri.”
Kebebasan, menurutnya, bukan sekadar lepas dari aturan atau otoritas. Kebebasan sejati adalah ketika seseorang bisa berkata ‘tidak’ pada nafsu, amarah, ketakutan, dan ketergantungan.