Seneca: Semakin Kita Tak Pantas Mendapatkan Keberuntungan, Semakin Besar Kita Mengharapnya
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA – Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang kita menemui kenyataan yang terasa ironis: banyak orang yang tampaknya tidak melakukan apa pun untuk mendapatkan keberuntungan, justru berharap nasib baik datang begitu saja. Fenomena ini sebenarnya sudah disadari sejak zaman dahulu, salah satunya oleh filsuf Stoik Romawi, Lucius Annaeus Seneca.
Dalam salah satu pemikirannya, Seneca berkata:
“The less we deserve good fortune, the more we hope for it.”
Semakin kita tidak pantas mendapatkan keberuntungan, semakin besar harapan kita akan hal itu.
Pernyataan ini menggambarkan kecenderungan manusia yang sering kali berharap banyak tanpa diiringi dengan upaya yang sepadan. Mereka ingin hidup lebih baik, lebih sejahtera, lebih tenang, tetapi tanpa kerja keras, refleksi diri, atau perubahan perilaku yang mendasar.
Antara Harapan dan Kenyataan
Kata-kata Seneca menjadi cermin yang memantulkan kenyataan hidup: kita sering terlalu mudah bermimpi dan berharap, tanpa terlebih dahulu bertanya, “Apakah aku pantas mendapatkannya?”
Banyak orang menginginkan kekayaan, namun tidak disiplin dalam mengelola keuangan. Ada yang mendambakan kedamaian batin, tapi tetap terjebak dalam konflik batin dan kebiasaan buruk. Harapan yang tidak diimbangi dengan usaha membuat keberuntungan menjadi seperti fatamorgana—indah dari kejauhan, tapi tidak pernah benar-benar bisa diraih.
Seneca ingin menyadarkan kita bahwa harapan kosong justru muncul dari ketidakpantasan. Orang yang tahu dirinya belum layak, justru biasanya berharap lebih besar daripada yang benar-benar bekerja keras dan realistis.
Filsafat Stoik dan Kewaspadaan terhadap Harapan Semu
Dalam pandangan Stoik, termasuk Seneca, harapan bisa menjadi jebakan. Harapan yang tidak berakar pada realitas hanya akan menimbulkan kekecewaan. Bagi para filsuf Stoik, lebih baik kita fokus pada hal-hal yang berada dalam kendali kita: pikiran, tindakan, keputusan, dan kebajikan diri.
Berharap terlalu banyak terhadap hal-hal eksternal—seperti nasib, kekayaan, atau perlakuan orang lain—hanya akan membuat kita rapuh. Yang perlu dilakukan bukan berharap lebih banyak, melainkan berbenah diri agar lebih pantas menerima apa yang kita inginkan.
Berusaha Dulu, Baru Berharap
Ada perbedaan besar antara orang yang berharap setelah bekerja keras, dan mereka yang hanya berharap tanpa berbuat. Harapan yang muncul dari usaha adalah semangat. Tapi harapan yang muncul dari kemalasan adalah pelarian.
Seneca seolah mengingatkan kita untuk tidak melupakan logika kehidupan: keberuntungan lebih mudah datang kepada mereka yang mempersiapkan diri. Bahkan, dalam banyak kasus, keberuntungan hanyalah hasil dari persiapan yang bertemu dengan kesempatan.
Refleksi: Apakah Kita Layak atas Harapan Kita?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang bisa direnungkan:
1. Apakah kita sudah berusaha maksimal sesuai kemampuan kita?
Harapan tanpa usaha adalah khayalan.
2. Apakah kita bersedia mengubah diri agar pantas menerima keberuntungan?
Keberuntungan tidak datang kepada orang yang hanya pasrah.
3. Apakah kita mengandalkan keberuntungan sebagai solusi, atau sebagai bonus?
Kehidupan akan lebih kuat jika dibangun di atas usaha, bukan ekspektasi kosong.
4. Apakah kita merasa berhak atas hal-hal baik, meskipun tidak berbuat apa-apa?
Ini adalah pertanyaan penting yang sering luput dari perhatian kita.
Mengubah Harapan Jadi Tindakan
Daripada terus mengharapkan keberuntungan yang belum tentu datang, Seneca mengajak kita untuk mengubah fokus. Daripada menunggu angin bertiup, lebih baik kita mulai mendayung. Keberuntungan mungkin saja datang, tapi tidak bisa diandalkan sebagai satu-satunya jalan.
Jika kita ingin hidup yang lebih baik, maka mulailah dengan memperbaiki kualitas diri: berpikir jernih, bersikap jujur, bertindak disiplin, dan menjalani hidup dengan integritas.
Kesimpulan: Harapan Harus Diiringi dengan Kepantasan
Kutipan Seneca “The less we deserve good fortune, the more we hope for it” menjadi pengingat tajam bahwa harapan bukanlah pengganti dari usaha. Justru, ketika seseorang merasa tidak pantas, ia cenderung berharap lebih, seolah harapan bisa menggantikan kerja keras dan pertumbuhan pribadi.
Seneca mengajak kita untuk mengembalikan keseimbangan: berharap itu boleh, tapi harus dibarengi dengan layaknya kita menerima harapan tersebut. Kita bukan hanya harus ingin keberuntungan, tapi juga pantaspun untuk mendapatkannya.