Apakah Takdir Itu? Boethius dan Dialog Abadi tentang Kebebasan dan Ketetapan Ilahi
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA – Pertanyaan tentang takdir telah menghantui benak manusia sejak zaman kuno: Apakah hidup kita sudah ditentukan sebelumnya? Apakah kita memiliki kebebasan sejati, ataukah semuanya hanyalah bagian dari skenario besar yang telah ditulis oleh kekuatan yang lebih tinggi? Pertanyaan-pertanyaan ini mencapai puncaknya dalam sebuah karya monumental yang ditulis di dalam penjara oleh seorang filsuf Romawi Kristen abad ke-6 bernama Boethius.
Boethius, melalui karyanya The Consolation of Philosophy (Penghiburan Filsafat), mengajak pembaca menyelami dialog yang abadi dan sangat relevan hingga kini: perdebatan antara kehendak bebas manusia dan ketetapan ilahi. Dalam keadaan yang paling getir—menunggu eksekusi mati—ia tidak kehilangan daya intelektualnya, melainkan justru menemukan pemahaman baru tentang kebebasan, moralitas, dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Takdir dan Kebebasan: Sebuah Pertentangan yang Abadi
Boethius menulis The Consolation of Philosophy sebagai dialog antara dirinya dan seorang tokoh alegoris bernama Lady Philosophy, sosok perempuan yang melambangkan kebijaksanaan. Dalam dialog itu, Boethius meluapkan kegelisahannya: jika Tuhan Maha Tahu segala hal—termasuk masa depan—bukankah itu berarti manusia tidak benar-benar bebas? Bukankah semua sudah ditentukan dan tidak bisa diubah?
Pertanyaan itu sangat penting dalam tradisi filsafat dan teologi. Jika manusia tidak memiliki kehendak bebas, bagaimana mungkin ia bertanggung jawab atas tindakannya? Namun jika kehendak bebas benar-benar ada, bagaimana bisa Tuhan yang Maha Tahu tidak tahu apa yang akan terjadi?
Lady Philosophy menjawab dengan logika yang tajam namun menenangkan. Ia menjelaskan bahwa pengetahuan Tuhan bersifat kekal dan tidak terikat waktu. Tuhan melihat segalanya dalam satu "kini abadi" (eternum nunc), bukan seperti manusia yang melihat waktu secara berurutan. Dengan demikian, pengetahuan Tuhan tidak membatalkan kebebasan manusia, melainkan hanya mencerminkan apa yang akan dipilih manusia secara bebas.
Pengetahuan Tuhan Bukan Penyebab
Dalam argumen Boethius, penting untuk membedakan antara mengetahui dan menyebabkan. Pengetahuan Tuhan tentang masa depan tidak menyebabkan peristiwa itu terjadi. Sebagaimana seseorang yang berdiri di atas bukit bisa melihat dua mobil akan bertabrakan di bawah tanpa menyebabkannya, demikian pula Tuhan bisa mengetahui pilihan manusia tanpa memaksanya.
Penjelasan ini memberi ruang bagi kebebasan manusia tanpa mengorbankan atribut ke-Maha-Tahuan Tuhan. Dengan kata lain, Boethius berusaha menyelaraskan dua konsep besar yang tampak saling bertentangan: bahwa Tuhan mengetahui segalanya, namun manusia tetap bertanggung jawab atas tindakannya.
Tuhan, Waktu, dan Kekekalan
Salah satu konsep kunci dalam pemikiran Boethius adalah perbedaan antara waktu (tempus) dan kekekalan (aeternitas). Waktu adalah urutan peristiwa yang berubah dan bergerak, sementara kekekalan adalah kepenuhan waktu yang tetap dan tak berubah. Tuhan tidak berada di dalam waktu, tetapi melampauinya.
Dengan melihat dari sudut pandang kekekalan, Tuhan melihat semua hal sekaligus. Tidak ada masa lalu atau masa depan bagi-Nya, hanya kehadiran abadi. Maka, kehendak bebas manusia tidak terancam, karena ia membuat keputusan dalam waktu, meskipun Tuhan melihatnya dari luar waktu.
Kehidupan Sebagai Ujian Moral
Bagi Boethius, dunia ini bukan panggung tanpa makna. Ia melihat kehidupan sebagai ujian moral. Manusia diberi akal budi dan kehendak untuk memilih jalan yang benar. Takdir bukanlah belenggu, tetapi kondisi tempat manusia bertindak dan menunjukkan kebajikan.
Lady Philosophy mengajak Boethius untuk tidak mengeluh pada nasib. Ia mendorongnya untuk menggunakan penderitaan sebagai jalan menuju pemurnian batin. Keberuntungan, jabatan, bahkan hukuman mati hanyalah bagian dari realitas duniawi yang tidak kekal. Yang penting adalah menjaga integritas moral.
Warisan Boethius dalam Filsafat dan Teologi
Pemikiran Boethius tentang kehendak bebas dan pengetahuan Tuhan menjadi rujukan penting dalam perkembangan teologi Kristen, terutama pada Abad Pertengahan. Tokoh-tokoh besar seperti Thomas Aquinas, Anselmus, dan bahkan reformator seperti Martin Luther dan John Calvin turut memperdebatkan tema yang dibuka oleh Boethius.
Bahkan dalam dunia filsafat modern, argumen Boethius masih dipelajari dalam konteks diskusi tentang determinisme, kehendak bebas, dan teodise. Ia dianggap sebagai jembatan antara filsafat klasik Yunani-Romawi dan teologi Kristen skolastik.
Relevansi di Zaman Modern
Di era digital saat ini, dengan algoritma yang memprediksi perilaku manusia, pertanyaan tentang kebebasan dan takdir kembali mengemuka. Apakah kita sungguh-sungguh bebas jika semua tindakan kita bisa ditebak berdasarkan data?
Dalam konteks ini, pemikiran Boethius memberi perspektif yang menyejukkan. Ia mengajarkan bahwa sekalipun dunia dikuasai oleh prediksi dan ketidakpastian, manusia tetap memiliki kebebasan batin untuk memilih, bertindak, dan menanggung akibat moral dari pilihannya.
Kesimpulan: Menemukan Kebebasan dalam Kesadaran Ilahi
Boethius tidak hanya memberikan solusi filsafat, tetapi juga memberikan harapan. Dalam ketegangan antara takdir dan kehendak bebas, ia mengajarkan bahwa hidup bukanlah permainan nasib buta. Tuhan mengetahui segalanya, namun manusia tetap bisa memilih.
Dalam penjara, saat menghadapi kematian, Boethius justru menemukan kebebasan yang sesungguhnya: bukan kebebasan untuk menghindari takdir, melainkan kebebasan untuk menerima hidup dengan hati yang bijak. Sebuah pelajaran abadi bahwa kehendak bebas bukan tentang mengubah takdir, melainkan tentang bagaimana kita meresponsnya dengan kebajikan dan kebijaksanaan.