Filosofi Stoik: Solusi untuk Stres Menurut Massimo Pigliucci yang Bikin Hidup Lebih Tenang
- Cuplikan layar
Malang, WISATA – Stres telah menjadi bagian tak terhindarkan dari kehidupan modern. Tuntutan pekerjaan, tekanan sosial, kekhawatiran finansial, hingga paparan media sosial yang tak henti bisa membuat pikiran terasa sesak dan emosi tak stabil. Namun, menurut filsuf modern Massimo Pigliucci, semua itu bisa diatasi tanpa harus melarikan diri dari kenyataan. Solusinya? Filsafat Stoik—ajaran kuno yang kini kembali menemukan relevansinya di abad ke-21.
Massimo Pigliucci, profesor filsafat di City College of New York, dikenal luas sebagai penggerak kebangkitan Stoisisme di dunia modern. Melalui bukunya yang populer, How to Be a Stoic (2017), ia menyederhanakan ajaran-ajaran para Stoik kuno seperti Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius menjadi pedoman hidup praktis yang dapat diterapkan siapa saja. Salah satu fokusnya adalah bagaimana Stoisisme bisa membantu manusia modern mengelola stres secara lebih bijaksana.
Menurut Pigliucci, stres muncul ketika kita mencoba mengendalikan hal-hal yang sebetulnya berada di luar jangkauan kita. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar Stoisisme tentang “dikotomi kendali”—gagasan bahwa dalam hidup hanya ada dua hal: apa yang bisa kita kendalikan, dan apa yang tidak bisa. Kita bisa mengendalikan pikiran, sikap, dan tindakan kita, tetapi tidak bisa mengendalikan cuaca, opini orang lain, atau hasil akhir dari usaha kita.
Ketika seseorang menaruh harapan tinggi pada hal-hal yang di luar kendalinya—misalnya, mendapatkan promosi, disukai semua orang, atau sukses dalam waktu singkat—dan harapan itu tak tercapai, stres pun muncul. Pigliucci menyarankan agar kita mengalihkan fokus pada hal-hal yang benar-benar berada dalam kekuasaan kita, seperti bagaimana kita merespons kegagalan, cara kita berkomunikasi, atau keputusan moral yang kita ambil setiap hari.
Bagi Pigliucci, solusi mengatasi stres tidak terletak pada menghindari tantangan hidup, tetapi menghadapi tantangan itu dengan sikap mental yang terlatih. Ia menegaskan, “Kesulitan bukan musuh, tapi guru yang membentuk kita.” Dalam Stoisisme, penderitaan dan kesulitan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti atau dijauhi, melainkan dipahami sebagai bagian alami dari kehidupan yang berperan dalam membentuk karakter kita.
Filosofi ini mengajak kita untuk tidak larut dalam kekhawatiran terhadap masa depan atau penyesalan terhadap masa lalu. Stoisisme menekankan pentingnya hidup pada saat ini—menghadirkan kesadaran penuh dalam setiap tindakan, dan menjalani hidup dengan prinsip kebajikan. Pigliucci bahkan menyarankan praktik refleksi harian, di mana kita meninjau kembali pikiran dan tindakan kita setiap malam untuk belajar dari kesalahan, tanpa menghakimi diri secara berlebihan.
Latihan mental ini sejalan dengan pendekatan terapi kognitif modern, yang juga menekankan pentingnya memperhatikan pikiran kita dan mengubah pola pikir yang destruktif. Tidak heran jika banyak psikolog dan pelatih kehidupan kini mulai mengadopsi prinsip-prinsip Stoik dalam sesi konseling mereka. Dengan cara berpikir yang lebih rasional dan terlatih, seseorang bisa membentuk ketahanan emosional yang kuat, bahkan di tengah tekanan sekalipun.