Boethius dan Penghiburan Filsafat: Saat Penjara Menjadi Sekolah Kebijaksanaan
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA – Di tengah bayang-bayang kematian dan keputusasaan, Boethius menulis karya yang kelak menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah filsafat Barat: The Consolation of Philosophy atau Penghiburan Filsafat. Ditulis pada abad ke-6 Masehi, buku ini bukan hanya luapan pemikiran seorang filsuf, tetapi juga renungan mendalam dari seorang manusia yang tengah menghadapi akhir hayat di dalam penjara.
Anicius Manlius Severinus Boethius, filsuf Kristen Romawi yang hidup pada masa transisi antara dunia klasik dan Abad Pertengahan, pernah menduduki jabatan tinggi di pemerintahan Kerajaan Ostrogoth. Namun, nasib berkata lain. Ia difitnah melakukan pengkhianatan dan dijatuhi hukuman mati. Dalam keterasingan, ia tidak menyanyikan lagu ratapan—melainkan menulis dialog antara dirinya dengan Filsafat, yang muncul sebagai sosok perempuan bijak.
Filsafat Sebagai Penghibur: Dialog di Tengah Derita
Dalam Penghiburan Filsafat, Boethius menciptakan tokoh alegoris bernama Lady Philosophy, yang datang menghiburnya ketika ia jatuh dalam kesedihan. Sosok ini bukan sekadar simbol, tetapi perwujudan dari kebijaksanaan dan akal budi yang telah lama menjadi temannya sejak muda. Ia mengingatkan Boethius akan nilai-nilai yang lebih tinggi daripada kekuasaan, keberuntungan, dan kehidupan duniawi.
Filsafat, dalam penggambaran Boethius, bukanlah ilmu kering yang hanya cocok dipelajari di ruang kelas, tetapi sahabat sejati yang hadir saat dunia membelakangi kita. Filsafat mengajaknya melihat penderitaan dari kacamata kekekalan. Ia menolak pandangan bahwa hidup hanya tentang nasib baik atau buruk—sebab semua hal yang fana tidak benar-benar bernilai.
Keberuntungan: Roda yang Terus Berputar
Salah satu bagian paling terkenal dari buku ini adalah perumpamaan tentang Fortuna, dewi keberuntungan, yang memutar roda nasib. Bagi Boethius, keberuntungan bersifat tidak tetap. Hari ini seseorang berada di atas, besok ia bisa terjatuh ke bawah. Oleh karena itu, tidak bijak menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal eksternal seperti harta, jabatan, atau pengaruh politik.