René Descartes: "Aku ada, karena aku adalah makhluk yang berpikir, bukan karena aku memiliki tubuh."
- Image Creator Grok/Handoko
René Descartes, filsuf besar dari Prancis yang dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern, menyampaikan pesan mendalam dalam pernyataannya ini: keberadaan manusia tidak ditentukan oleh aspek jasmaniah, melainkan oleh kesadaran dan kemampuan untuk berpikir. Ini adalah kelanjutan dari prinsip terkenalnya, "Cogito, ergo sum" — "Aku berpikir, maka aku ada."
Pikiran sebagai Esensi Keberadaan
Descartes memisahkan secara tegas antara tubuh (materi) dan pikiran (res cogitans). Baginya, tubuh adalah sesuatu yang dapat diragukan, sebab ia bisa tertipu oleh indra. Namun, pikiran adalah satu-satunya yang tidak bisa diragukan, sebab keraguan itu sendiri adalah bukti bahwa pikiran itu ada. Jadi, bukan keberadaan fisik yang mendefinisikan "aku", tetapi aktivitas berpikir.
Dualisme Cartesian: Jiwa dan Raga
Dalam pemikiran Descartes, manusia terdiri dari dua substansi: tubuh yang fana dan pikiran yang abadi. Tubuh mungkin sakit, terluka, bahkan hancur, tetapi pikiran tetap menjadi inti dari jati diri. Ketika kita merenung, meragukan, atau memahami sesuatu, di sanalah eksistensi kita benar-benar terletak.
Pandangan Ini dalam Konteks Modern
Dalam era digital, gagasan Descartes terasa semakin relevan. Dunia maya memungkinkan keberadaan seseorang tanpa kehadiran fisik. Identitas kita di media sosial, dunia virtual, dan ruang diskusi online dibentuk bukan oleh tubuh, tetapi oleh pikiran, ide, dan opini. Kita “ada” di ruang digital karena kita berpikir, menulis, merespons, dan mencipta.