Jejak Awal Filsafat: Ketika Manusia Mulai Bertanya tentang Alam Semesta
- Cuplikan Layar
Jakarta, WISATA - Dahulu kala, sebelum ilmu pengetahuan modern lahir, manusia sudah menatap langit dan bertanya-tanya: “Apa itu alam semesta? Dari mana semua ini berasal?” Rasa ingin tahu inilah yang memicu kelahiran filsafat di tanah Yunani. Melalui catatan Frederic Copleston dalam A History of Philosophy, Volume 1: Greece and Rome, kita diajak menelusuri jejak para pemikir pra-Sokratik yang pertama kali mencoba menjelaskan segala sesuatu secara rasional, tanpa bergantung semata pada mitos atau legenda.
Latar Belakang Peradaban Yunani
Kota-kota pelabuhan seperti Miletos, Ephesos, dan Kolofon di Asia Kecil (sekarang Turki barat) menjadi pusat perdagangan, budaya, dan dialog intelektual pada abad ke-6 SM. Interaksi dengan bangsa Mesir dan Babilonia memperkaya wawasan orang Yunani tentang matematika, astronomi, dan kosmologi. Namun, alih-alih menerima kepercayaan lama begitu saja, beberapa pemikir mulai mencari prinsip dasar (archê) yang mendasari segala fenomena alam.
Sekolah Milesian: Awal Mula Pencarian Archê
Thales, Anaximander, dan Anaximenes—ketiganya dari kota Miletos—dianggap sebagai pelopor filsafat alam.
- Thales (624–546 SM) menegaskan bahwa air adalah substansi pokok di balik semua perubahan di alam. Aristoteles kemudian mencatat bahwa Thales mengamati benih kehidupan ada pada semua benda hidup berupa cairan, sehingga ia menyimpulkan air sebagai archê.
- Anaximander (610–546 SM) menantang pemikiran Thales dengan mengemukakan apeiron (yang tak terbatas) sebagai asal mula segala yang berwujud. Bagi Anaximander, apeiron melampaui unsur-unsur yang bisa dirasakan dan menjelaskan siklus kelahiran dan kehancuran alam.
- Anaximenes (585–528 SM) kembali ke gagasan unsur tunggal, tetapi memilih udara (aer) sebagai archê. Menurutnya, perubahan bentuk (pengurangan atau penebalan udara) menghasilkan api, air, dan tanah.
Pendekatan ketiganya menandai peralihan dari penjelasan mitologis ke penjelasan rasional tentang alam.
Pythagoras dan Misteri Angka
Di kota Krotona, Italia selatan, Pythagoras (570–495 SM) dan murid-muridnya mendirikan komunitas yang memadukan filsafat, matematika, dan mistisisme. Mereka menemukan keteraturan musik melalui rasio bilangan—misalnya, tali instrumen yang dibagi dua menghasilkan oktaf, 2:3 menghasilkan kuint, dan seterusnya.
Bagi Pythagore, angka bukan sekadar alat hitung, tetapi unsur pokok kosmos yang mencerminkan keharmonisan semesta. Ajaran ini memengaruhi pemikiran Plato dan kelak memunculkan teori “dunia ide” yang menempatkan angka dan bentuk geometris sebagai realitas lebih tinggi daripada dunia fisik sehari-hari.
Parmenides vs. Herakleitos: Perubahan atau Ketetapan?
Dua tokoh Eleatik ini mengajukan pertanyaan mendasar: apakah realitas itu tetap atau terus berubah?
- Parmenides (awal abad ke-5 SM) melalui puisi logisnya menyatakan bahwa “yang ada” bersifat satu, tidak berubah, dan tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan. Menurut Parmenides, semua perubahan hanyalah ilusi indera.
- Herakleitos (535–475 SM), sebaliknya, menegaskan bahwa “segala sesuatu mengalir” (panta rhei). Ia menggunakan api sebagai simbol perubahan abadi, menekankan bahwa konflik dan ketegangan antara unsur-unsur yang berlawanan justru menciptakan keserasian kosmik.
Kontras pandangan keduanya mendorong murid-murid dan generasi berikutnya untuk mengembangkan argumen baru, sehingga lahirlah berbagai teori kosmologi dan logika.
Empedokles, Anaxagoras, dan Atomisme: Menuju Filsafat Alam yang Sistematis
Setelah pertarungan ide tentang perubahan dan kesatuan, muncul usaha untuk merumuskan teori tentang unsur pokok dan penyebab alam:
- Empedokles (490–430 SM) memadukan gagasan tentang empat unsur—tanah, air, udara, api—ditambah dua kekuatan (cinta dan permusuhan) yang membuat unsur-unsur itu bergabung atau terpisah.
- Anaxagoras (499–428 SM) memperkenalkan Nous (akal) sebagai penyebab utama keteraturan alam. Bagi Anaxagoras, alam semesta terbentuk dari campuran partikel-partikel kecil, tetapi hanya Nous yang mampu memisahkan dan menyusun mereka menjadi benda-benda yang kita kenal.
- Demokritos (460–370 SM), bersama gurunya Leukipus, mengembangkan atomisme. Mereka berpendapat bahwa segala sesuatu tersusun dari atom-atom tak terpisahkan yang bergerak di ruang hampa. Atom-atom inilah yang menimbulkan berbagai ragam bentuk dan sifat bahan.
Model atomistik ini sangat revolusioner karena menghilangkan campur tangan dewa dalam urusan alam dan membuka jalan bagi sains eksperimental di masa depan.
Implikasi dan Warisan Jejak Awal Filsafat
Narratif perjalanan pemikiran pra-Sokratik menegaskan bahwa filsafat bukan sekadar hobi intelektual, melainkan upaya manusia memahami keberadaan tanpa bergantung pada kisah mitos. Melalui dialektika Milesian, Pythagore, Eleatik, dan atomis, terbentuk kerangka dasar:
1. Pencarian Archê: Menemukan prinsip tunggal atau pluralitas unsur sebagai asal segala wujud.
2. Metode Rasional: Penggunaan logika dan observasi, bukan sekadar kepercayaan, untuk menjelaskan fenomena.
3. Kesinambungan Pemikiran: Masing-masing aliran memengaruhi dan dikritik oleh aliran berikutnya, menciptakan evolusi gagasan yang berkelanjutan.
Frederic Copleston menekankan bahwa meski para filsuf pra-Sokratik tidak memiliki laboratorium modern, mereka menanam benih metode ilmiah dan metafisika awal yang berakar kuat hingga sekarang.
Mengapa Jejak Awal Filsafat Penting untuk Kita?
Di era digital dan kecerdasan buatan, banyak orang lupa bahwa fondasi penalaran rasional berasal dari pemikiran kuno. Menyelami jejak awal filsafat membantu kita:
- Mengasah Kemampuan Bertanya: Filsof seperti Thales dan Anaximander mengajarkan pentingnya mempertanyakan hal yang dianggap biasa.
- Memahami Keragaman Perspektif: Debat Parmenides–Herakleitos menunjukkan bahwa kebenaran bisa bersifat relatif dan memerlukan dialog.
- Menghargai Proses Progresif: Atomisme Demokritos menandai bahwa teori yang diterima luas pun dapat digantikan oleh penemuan baru.
Penutup
Jejak awal filsafat di Yunani Kuno membuka jalan bagi seluruh tradisi pemikiran Barat. Dari Miletos hingga Krotona, dari puisi logis Eleatik hingga atomisme, para pemikir pra-Sokratik menegaskan bahwa akal manusia mampu meraba-maknakan realitas di balik fenomena. Dengan memahami akar pemikiran ini, kita dapat menghargai betapa panjang dan kaya sejarah pencarian kebenaran yang kini mewarnai setiap aspek kehidupan modern