Jejak Awal Filsafat: Ketika Manusia Mulai Bertanya tentang Alam Semesta
- Cuplikan Layar
Di kota Krotona, Italia selatan, Pythagoras (570–495 SM) dan murid-muridnya mendirikan komunitas yang memadukan filsafat, matematika, dan mistisisme. Mereka menemukan keteraturan musik melalui rasio bilangan—misalnya, tali instrumen yang dibagi dua menghasilkan oktaf, 2:3 menghasilkan kuint, dan seterusnya.
Bagi Pythagore, angka bukan sekadar alat hitung, tetapi unsur pokok kosmos yang mencerminkan keharmonisan semesta. Ajaran ini memengaruhi pemikiran Plato dan kelak memunculkan teori “dunia ide” yang menempatkan angka dan bentuk geometris sebagai realitas lebih tinggi daripada dunia fisik sehari-hari.
Parmenides vs. Herakleitos: Perubahan atau Ketetapan?
Dua tokoh Eleatik ini mengajukan pertanyaan mendasar: apakah realitas itu tetap atau terus berubah?
- Parmenides (awal abad ke-5 SM) melalui puisi logisnya menyatakan bahwa “yang ada” bersifat satu, tidak berubah, dan tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan. Menurut Parmenides, semua perubahan hanyalah ilusi indera.
- Herakleitos (535–475 SM), sebaliknya, menegaskan bahwa “segala sesuatu mengalir” (panta rhei). Ia menggunakan api sebagai simbol perubahan abadi, menekankan bahwa konflik dan ketegangan antara unsur-unsur yang berlawanan justru menciptakan keserasian kosmik.
Kontras pandangan keduanya mendorong murid-murid dan generasi berikutnya untuk mengembangkan argumen baru, sehingga lahirlah berbagai teori kosmologi dan logika.
Empedokles, Anaxagoras, dan Atomisme: Menuju Filsafat Alam yang Sistematis