Socrates dan Air Mata Perempuan: Antara Filosofi, Bias, dan Pemahaman Emosional
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA — Socrates, filsuf besar dari Yunani Kuno, dikenal bukan hanya karena kebijaksanaannya, tetapi juga karena ucapannya yang kerap menggugah, menantang, bahkan kontroversial. Salah satu kutipan yang memantik banyak perdebatan adalah:
“Trust not a woman when she weeps, for it is her nature to weep when she wants her will.”
Jika diterjemahkan bebas dalam Bahasa Indonesia:
“Jangan percaya pada perempuan saat ia menangis, karena memang sudah sifatnya untuk menangis ketika menginginkan sesuatu.”
Pernyataan ini tentu mengundang berbagai tafsir, mulai dari kritik terhadap perempuan, hingga pembacaan yang lebih dalam tentang psikologi manusia dan relasi kekuasaan dalam emosi. Dalam konteks hari ini, kutipan tersebut bisa menjadi jendela untuk melihat bagaimana masyarakat memahami ekspresi emosional perempuan, serta bagaimana bias sejarah dan budaya terus membentuk pandangan kita terhadap gender.
Socrates dan Zaman yang Membentuknya
Untuk memahami kutipan ini secara adil, kita perlu menempatkannya dalam konteks zaman Socrates. Hidup sekitar abad ke-5 SM di Athena, Yunani, Socrates merupakan bagian dari masyarakat patriarkal, di mana perempuan tidak diberi ruang dalam politik, pendidikan, atau diskusi intelektual. Perempuan dianggap lebih emosional, kurang rasional, dan tempatnya adalah di rumah, bukan di forum publik.
Dalam konteks tersebut, pandangan Socrates mungkin mencerminkan persepsi umum masyarakat terhadap perempuan saat itu. Tangisan perempuan dianggap sebagai bentuk manipulasi, bukan sebagai ekspresi tulus dari emosi. Namun perlu diingat, Socrates adalah filsuf yang terkenal karena pendekatannya yang bertanya dan mempertanyakan segalanya. Maka, apakah kutipan ini adalah bentuk kritik? Sindiran? Atau refleksi dari pengalaman sosialnya?
Air Mata Perempuan: Emosi atau Strategi?
Secara biologis, manusia—baik laki-laki maupun perempuan—memiliki sistem yang sama dalam hal ekspresi emosi. Namun, budaya telah membentuk perbedaan besar dalam bagaimana masing-masing gender mengekspresikan perasaan. Dalam banyak masyarakat, termasuk Indonesia, laki-laki diajarkan untuk menahan tangis, sedangkan perempuan dianggap wajar jika menangis.