Mengapa Demokrasi Gagal? Refleksi Filosofis John Rawls dan Teori Keadilan yang Terabaikan
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA - Demokrasi telah lama menjadi tatanan politik yang diidamkan di seluruh dunia, namun dalam kenyataannya, banyak negara menghadapi tantangan serius yang menggerus legitimasi sistem ini. Salah satu tokoh penting dalam filsafat politik modern, John Rawls, memberikan kerangka teoretis untuk memahami kegagalan demokrasi melalui konsep keadilannya yang mendalam.
John Rawls, seorang filsuf Amerika yang lahir pada 1921, terkenal dengan karya utamanya, A Theory of Justice (1971). Dalam buku ini, Rawls memperkenalkan teori keadilan sebagai fairness (keadilan yang berlandaskan keadilan). Ia mengusulkan bahwa prinsip-prinsip keadilan harus mengatur struktur dasar masyarakat, khususnya dalam sistem demokrasi. Namun, mengapa demokrasi, yang dirancang untuk mencerminkan keadilan ini, seringkali gagal?
Teori Keadilan: Landasan Filosofis John Rawls
Teori keadilan John Rawls berpusat pada dua prinsip utama:
- Prinsip Kebebasan Dasar: Setiap individu memiliki hak atas kebebasan dasar yang setara, seperti kebebasan berbicara, beragama, dan memilih. Hak-hak ini tidak boleh dikompromikan demi kepentingan orang lain.
- Prinsip Perbedaan (Difference Principle): Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi hanya dapat diterima jika memberikan manfaat terbesar bagi mereka yang paling tidak beruntung (the least advantaged) dan jika posisi yang menguntungkan ini terbuka bagi semua orang melalui kesetaraan kesempatan.
Untuk memastikan keadilan, Rawls memperkenalkan konsep veil of ignorance (selubung ketidaktahuan). Dalam kondisi ini, individu membuat keputusan tentang aturan sosial tanpa mengetahui posisi mereka di masyarakat—apakah mereka kaya atau miskin, kuat atau lemah. Pendekatan ini bertujuan menghasilkan prinsip-prinsip yang benar-benar adil dan tidak bias.
Namun, kegagalan demokrasi seringkali mencerminkan pengabaian terhadap prinsip-prinsip ini.