Belajar dari Aisyah dan Ali bin Abi Thalib Saat Beda Pilihan Politik
- IG/mt_khadijah
Malang, WISATA – Kisruh Pilpres di Indonesia hingga sidang Mahkamah Konstitusi belum selesai. Beda pilihan politik yang diselingi dengan provokasi dan hoaks dari para pendukung, menyebabkan banyak yang tidak bisa menerima keputusan KPU, hingga membuat pemilu berlarut-larut. Bagaimana menyikapi beda pilihan politik menurut Islam? Berikut adalah sejarahnya,
Sebelum wafatnya Nabi Muhammad saw, hubungan antara Siti Aisyah dan Ali bin Abi Thalib normal dan harmonis. Pasca wafatnya Nabi saw, para sahabat mulai berbeda pendapat, terlebih setelah terbunuhnya Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Pasca terbunuhnya Utsman, umat Islam dari segi politik terpecah. Sebagian menyuarakan untuk terus mengusut tuntas siapa pembunuh Utsman bin Affan, termasuk salah satunya Ali. Saat itu masyarakat Madinah menuntut agar ada satu orang yang dijadikan pemimpin dan Ali ditunjuk untuk dibaiat.
Di sisi lain, Aisyah memandang bahwa semestinya pengangkatan pemimpin dilakukan di masa tenang, bukan pada masa konflik saat sedang mengusut pembunuh Utsman. Selanjutnya situasi makin memanas hingga terjadi perang Jamal. Ada dua kelompok besar yang berhadapan, yaitu kelompok Ali dan kelompok Aisyah, Thalhah dan Zubair.
Saat 10 ribu orang terbunuh, Ali dan Aisyah sama-sama tidak menghendaki peperangan itu terjadi. Pada saat peperangan berlangsung, Aisyah turun ke medan perang. Aisyah juga menjadi sasaran, untanya dipanah supaya tumbang. Mengetahui hal ini, Ali memerintahkan Muhammad bin Abu Bakar untuk membuat pelindung supaya Aisyah tidak terkena panah. Faktanya, ketika Aisyah ingin meninggalkan Basrah pasca perang berakhir, Ali membekali seluruh kebutuhan dan barang bawaan. dengan 40 perempuan warga Basrah menemani Aisyah kembali.
Aisyah berkata : “Wahai anakku, tidak boleh ada yang saling mencaci di antara kita. Demi Allah, dahulu kala antara aku dan Ali tidak ada apa-apa, dan Ali menurutku adalah yang terbaik.” Kemudian Ali balas mengucap : “Demi Allah, tidak ada apa pun antara saya dan Aisyah melainkan sebagaimana disinggung oleh beliau tadi. Beliau adalah istri Nabi kalian semua di dunia dan akhirat.”
Menurut Umar bin Syabah, sejarawan abad III hijriah yang dikutip adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala jilid XII, hal. 369, selama Ali menjabat sebagai khalifah, Aisyah tidak pernah sama sekali menentang kepemimpinan Ali, atau bahkan memprovokasi orang-orang untuk memakzulkannya. Aisyah hanya mengutuk keputusan Ali yang tidak mengusut kasus pembunuhan Utsman dan menangguhkan hukum pidana pada orang-orang yang terlibat. Meskipun begitu, sesungguhnya sikap Ali bukan ingin menunda, namun menunggu kasus tersebut jelas gambarannya.
Sejarah di atas menunjukkan bahwa Aisyah dan Ali, meski berbeda pandangan akan tetapi keduanya saling menghormati satu sama lain, tidak saling menghina, mencela dan merendahkan. Ali dan Aisyah sama-sama menjadi penenang umat dan tidak memprovokasi mereka untuk saling bermusuhan. Bahkan keduanya saling menjaga objektivitas keilmuan yang merupakan warisan terbesar baginda Rasulullah saw.