Saat Orang Tua Mulai Rapuh: Islam, Cinta, dan Tanggung Jawab Anak yang Sering Terlupakan
- Image Creator Grok/Handoko
Malang, WISATA – Usia senja sering kali datang perlahan, membawa serta kerentanan fisik, kesunyian emosional, dan terkadang perasaan tidak lagi berguna. Di tengah kesibukan generasi muda mengejar karier dan impian, tak jarang orang tua di rumah hanya menjadi bayang-bayang sunyi—menunggu, berharap, dan bertanya-tanya: “Apakah aku masih dibutuhkan?”
Saat tubuh tak lagi sekuat dulu, banyak orang tua mulai merasa sendiri, kosong, bahkan tak berarti. Penyakit datang silih berganti, penghasilan pun mungkin sudah tak ada. Namun yang paling mereka rindukan adalah kehadiran anak-anaknya, bukan hanya secara fisik, tetapi secara hati.
Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapi masa tua orang tua? Apa kata psikologi, filsafat, dan terutama Islam tentang semua ini?
Ketika Usia Senja Menghadirkan Sunyi
Dalam psikologi perkembangan, masa lansia ditandai dengan kehilangan peran sosial, menurunnya fungsi tubuh, dan meningkatnya rasa bergantung. Banyak orang tua mulai mempertanyakan keberadaannya: "Masih bergunakah aku?", "Apakah aku hanya jadi beban?", "Adakah yang akan peduli jika aku tiada?"
Di fase ini, orang tua tidak hanya butuh bantuan fisik—mereka butuh perhatian emosional dan penghormatan. Sebuah sapaan, pelukan, atau ajakan makan bersama bisa lebih bermakna daripada hadiah mahal.
Filsafat dan Budaya: Menjunjung Orang Tua Sebagai Kehormatan Tertinggi