Übermensch: Sosok Manusia Unggul dalam Pemikiran Nietzsche yang Mengguncang Dunia Filsafat

Friedrich Nietzsche
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Malang, WISATA – Dalam dunia filsafat modern, Friedrich Nietzsche adalah salah satu pemikir paling kontroversial dan berpengaruh. Salah satu gagasannya yang paling terkenal dan menggugah adalah konsep Übermensch atau manusia unggul, yang diperkenalkan melalui karya magnum opus-nya, Also sprach Zarathustra (Thus Spoke Zarathustra). Ide ini tidak hanya mengguncang struktur moral yang mapan pada zamannya, tetapi juga menginspirasi perdebatan panjang dalam dunia filsafat, psikologi, sastra, hingga politik.

“Moralitas adalah Ilusi”: Kritik Pedas Nietzsche terhadap Nilai-Nilai Tradisional

Übermensch: Antitesis dari Moralitas Lama

Nietzsche menciptakan figur Übermensch sebagai jawaban atas krisis nilai-nilai tradisional yang ia anggap telah kehilangan makna. Dalam pandangan Nietzsche, manusia masa itu telah dikekang oleh moralitas yang bersumber dari agama dan budaya konservatif yang menolak perubahan. Konsep Übermensch hadir sebagai figur yang telah melampaui moralitas lama, tidak lagi tunduk pada dogma eksternal, melainkan menciptakan sistem nilainya sendiri berdasarkan kehendak dan kekuatan batinnya.

“Jangan Mengikuti Aku, Karena Aku pun Sedang Mencari Jalan”: Pesan Mendalam Nietzsche tentang Kemandirian Berpikir

Nietzsche menulis, “Manusia adalah sesuatu yang harus diatasi.” Dengan kata lain, Übermensch adalah manusia yang mampu menaklukkan dirinya sendiri, meninggalkan ketergantungan pada nilai yang diwariskan dan menciptakan makna hidupnya secara otonom.

Latar Belakang Kelahiran Konsep Übermensch

Friedrich Nietzsche dan Konsep Mengejutkan: Manusia Hanyalah Tali antara Binatang dan Manusia Unggul

Karya Thus Spoke Zarathustra ditulis antara tahun 1883 dan 1885. Dalam karya ini, Nietzsche menghadirkan karakter fiktif bernama Zarathustra, yang menyampaikan ajaran-ajarannya setelah bertapa di gunung selama sepuluh tahun. Salah satu pesan terbesarnya adalah ajaran tentang Übermensch yang dikontraskan secara tajam dengan manusia biasa, atau dalam istilah Nietzsche, “manusia kawanan” (herd mentality).

Menurut Nietzsche, manusia biasa cenderung mencari kenyamanan dan kestabilan dalam kerumunan, menghindari tantangan eksistensial yang berat. Sebaliknya, Übermensch bersedia menghadapi penderitaan dan kekacauan demi meraih kemerdekaan sejati dalam berpikir dan bertindak.

Kritik terhadap Moralitas Agama

Nietzsche dikenal sebagai filsuf yang secara frontal mengkritik agama, khususnya moralitas Kristen. Ia melihat agama sebagai bentuk nihilisme yang menyamar—sebuah sistem yang menolak nilai dunia ini demi kehidupan setelah mati. Dalam Übermensch, Nietzsche menawarkan alternatif berupa afirmasi kehidupan: menerima dunia apa adanya (amor fati) dan menjadikannya landasan untuk mencipta nilai baru.

Baginya, Übermensch adalah simbol dari manusia yang menolak rasa bersalah dan dosa sebagai pusat kehidupan. Ia tidak memerlukan pengampunan eksternal, karena ia tidak tunduk pada sistem moral yang memperbudak.

Mitos dan Kontroversi di Sekitar Übermensch

Seiring waktu, konsep Übermensch sering kali disalahpahami, bahkan disalahgunakan. Salah satu distorsi paling mencolok terjadi saat ide ini dikaitkan dengan propaganda Nazi, yang mengklaim bahwa mereka sedang menciptakan "ras unggul". Namun, banyak akademisi filsafat menyatakan bahwa ini adalah penyimpangan besar dari makna asli Übermensch yang bersifat individual dan eksistensial, bukan biologis atau rasial.

Nietzsche sendiri tidak pernah mendukung ide supremasi ras. Justru, ia mengecam nasionalisme sempit dan antisemitisme yang berkembang di masanya. Distorsi terhadap ide-idenya banyak disebabkan oleh interpretasi keliru dan penyuntingan karya-karyanya oleh saudara perempuannya, Elisabeth Förster-Nietzsche.

Übermensch dalam Dunia Modern

Hingga hari ini, konsep Übermensch terus memikat dan menantang para pemikir. Ia telah menjadi simbol dari pencarian jati diri, kebebasan, dan keberanian untuk melawan arus. Dalam psikologi, tokoh seperti Carl Jung menafsirkan Übermensch sebagai upaya individu untuk mencapai integrasi total antara kesadaran dan ketidaksadaran—sebuah proses yang ia sebut individuasi.

Dalam budaya populer, sosok ini tercermin dalam karakter-karakter fiksi seperti Superman, Batman, hingga tokoh protagonis dalam film-film distopia yang berjuang menentang sistem yang menindas. Meskipun tidak selalu disadari, ide Nietzsche tentang manusia unggul telah meresap ke dalam kesadaran kolektif modern.

Tantangan Menjadi Übermensch di Era Kini

Di zaman modern yang dipenuhi tekanan sosial, informasi berlimpah, dan krisis identitas, menjadi seorang Übermensch bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan keberanian untuk memutuskan hubungan dengan "kawanan", menolak standar kebahagiaan yang dikonstruksi oleh media, dan menciptakan nilai-nilai personal yang autentik.

Namun, inilah tantangan eksistensial yang ditawarkan Nietzsche: untuk tidak sekadar hidup, tetapi mencipta makna dalam hidup. Menjadi Übermensch adalah tentang keberanian untuk memilih, menghadapi penderitaan, dan menjadikan diri sendiri sebagai karya seni yang terus berkembang.

Penutup: Warisan Nietzsche yang Tak Pernah Redup

Nietzsche, dengan segala kontroversinya, tetap menjadi suara yang menggema dalam lorong waktu filsafat. Konsep Übermensch-nya menjadi refleksi bagi siapa pun yang merasa terperangkap dalam sistem nilai yang tidak lagi relevan dengan zaman. Dalam dunia yang terus berubah, pemikiran Nietzsche menjadi ajakan untuk terus bertanya, menggugat, dan mencipta ulang makna kehidupan.

Sebagaimana Zarathustra menyeru dari gunung: “Aku mengajarkan kepadamu manusia unggul. Manusia adalah sesuatu yang harus diatasi.” Pertanyaannya, apakah kita cukup berani untuk mengatasi diri kita sendiri?