“Tuhan Telah Mati. Dan Kita Telah Membunuh-Nya”: Kutipan Nietzsche yang Mengguncang Dunia Filsafat
- Image Creator Grok/Handoko
Malang, WISATA – Di antara berbagai kutipan filsuf besar sepanjang sejarah, kalimat Friedrich Nietzsche yang satu ini tetap menjadi yang paling kontroversial sekaligus menggugah: “Tuhan telah mati. Dan kita telah membunuh-Nya.” Bagi banyak orang awam, kalimat ini bisa terdengar sebagai penolakan terhadap agama atau pernyataan ateistik. Namun dalam konteks filosofis yang lebih dalam, pernyataan ini mencerminkan perubahan besar dalam cara manusia modern memandang nilai, moralitas, dan makna hidup.
Nietzsche pertama kali menuliskan gagasan tersebut dalam bukunya The Gay Science (1882), lalu memperkuatnya dalam karya monumental Thus Spoke Zarathustra (1883–1885). Pernyataan ini menjadi simbol dari krisis spiritual dan moralitas di Eropa modern saat itu, dan masih bergema hingga hari ini di tengah kegelisahan eksistensial zaman digital.
Makna Filosofis di Balik “Tuhan Telah Mati”
Nietzsche bukan sedang membuat pernyataan teologis bahwa entitas ilahi secara literal telah tiada. Ia sedang menunjukkan bahwa keyakinan terhadap nilai-nilai absolut yang bersumber dari agama dan moralitas tradisional sedang mengalami keruntuhan. Dengan kata lain, fondasi nilai masyarakat Barat tidak lagi bertumpu pada wahyu, tetapi mulai digantikan oleh sains, rasionalitas, dan relativisme budaya.
Menurut Nietzsche, pembunuhan terhadap “Tuhan” dilakukan oleh peradaban manusia itu sendiri—melalui modernisasi, kritik intelektual, dan pelepasan terhadap otoritas gereja. Namun ironisnya, meskipun “Tuhan telah mati”, manusia belum siap menghadapi konsekuensinya.
Krisis Nilai dan Kekosongan Makna
Setelah “kematian Tuhan”, pertanyaan besar muncul: jika tidak ada nilai absolut, apa yang membimbing hidup manusia? Di sinilah Nietzsche melihat bahaya besar—masyarakat yang kehilangan pegangan akan terjerumus dalam nihilisme, yaitu keyakinan bahwa hidup tidak memiliki makna, arah, atau tujuan.