“Jika Itu Tidak Benar, Jangan Katakan. Jika Itu Tidak Benar, Jangan Lakukan.” – Marcus Aurelius

Marcus Aurelius Tokoh Populer Stoicism
Sumber :
  • Image Creator bing/Handoko

Jakarta, WISATA – Di tengah derasnya arus informasi dan kemudahan berbicara di media sosial, satu kutipan dari Kaisar Filsuf Romawi, Marcus Aurelius, kembali bergaung sebagai penuntun etika:

Stoikisme ala Epictetus: Rahasia Bahagia Tanpa Bergantung pada Dunia Luar

“Jika itu tidak benar, jangan katakan. Jika itu tidak benar, jangan lakukan.”

Ungkapan ini diambil dari buku pribadinya, Meditations, dan menegaskan prinsip Stoikisme tentang kejujuran dan integritas—nilai yang kian penting di zaman disinformasi dan hoaks.

Epictetus: Filosofi Hidup Tenang di Tengah Dunia yang Bising

Kejujuran Sebagai Fondasi Keberanian

Marcus Aurelius, yang memerintah Kekaisaran Romawi pada abad kedua Masehi, menulis catatan ini sebagai pengingat diri sendiri agar selalu bertindak berdasarkan kebenaran. Bagi William B. Irvine, penulis A Guide to the Good Life, kutipan ini menekankan bahwa keberanian moral bukanlah soal menghadapi bahaya fisik saja, melainkan berani mengatakan dan melakukan apa yang benar meski bertentangan dengan arus populer.

“Kamu Menjadi Apa yang Kamu Perhatikan” – Makna Mendalam Epictetus yang Relevan di Era Digital

“Saat kita mengabaikan kebenaran, kita mengorbankan keutuhan jiwa. Keberanian sesungguhnya muncul dari kesetiaan pada fakta,” ujar Irvine dalam sebuah wawancara virtual.

Relevansi di Dunia Digital

Dalam era media sosial dan aplikasi pesan instan, setiap orang berpotensi menjadi sumber informasi. Ryan Holiday, penulis The Obstacle Is the Way, kerap memperingatkan akan bahaya menyebarkan kabar tanpa verifikasi:

“Racun terbesar di dunia maya adalah rumor yang disebarkan tanpa jelas kebenarannya. Prinsip Marcus itu adalah vaksin moral.”

Kutipan Marcus Aurelius ini memberi pedoman bagi netizen untuk memeriksa fakta sebelum membagikan konten, dan menolak untuk ikut menyebar berita palsu.

Implikasi Psikologis: Kebebasan Batin

Menurut Donald Robertson, psikoterapis dan penulis How to Think Like a Roman Emperor, kebohongan memicu kecemasan dan konflik batin. Sebaliknya, kejujuran yang konsisten membangun ketenangan pikiran, sebagaimana ajaran Stoik mendorong:

“Berbohong menuntut ingatan ganda—ingat kebohonganmu dan ingat pula kebenaran yang kau padamkan. Keduanya menjadi beban mental.”

Praktik Etis dalam Kehidupan Sehari-hari

Berikut cara sederhana mengaplikasikan prinsip Marcus Aurelius:

1.     Verifikasi Fakta: Sebelum membagikan artikel atau komentar, luangkan waktu membaca sumber aslinya.

2.     Jurnal Kebenaran: Tuliskan keputusan atau ucapan yang kamu lakukan hari ini—pastikan semuanya berdasarkan fakta.

3.     Refleksi Malam: Evaluasi apakah ada momen di mana kamu tergoda memberi informasi yang belum pasti kebenarannya.

Dengan rutin menerapkan langkah-langkah ini, seseorang akan semakin terbiasa mengutamakan kebenaran dibanding sekadar opini atau popularitas.

Penutup: Integritas sebagai Jalan Hidup

Kutipan Marcus Aurelius mengingatkan bahwa kebenaran adalah pijakan utama bagi siapa saja yang ingin menjalani hidup bermakna. Di tengah badai informasi digital, etika Stoik ini menjadi pemandu agar kita tidak terombang-ambing oleh arus gosip dan kabar palsu. Karena pada akhirnya, tindakan dan ucapan yang berlandaskan kebenaran adalah wujud keberanian dan integritas sejati