Agama Bukan Sekadar Ritual: Mengapa Tindakan Lebih Bermakna daripada Sekadar Ibadah?

Leo Tolstoy Sastrawan dan Filsuf Rusia
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA - Banyak orang menganggap bahwa agama adalah soal menjalankan ritual, pergi ke tempat ibadah, atau mengikuti serangkaian aturan yang telah diwariskan turun-temurun. Namun, pemikiran ini mendapat tantangan dari seorang filsuf dan sastrawan besar, Leo Tolstoy. Ia pernah berkata, "Agama yang sejati tidak ada di dalam gereja atau ritual, tetapi di dalam tindakan kita terhadap sesama." Pernyataan ini mengundang refleksi mendalam: apakah agama hanya soal seremonial, ataukah lebih dari itu?

Seneca: “Lebih Baik Miskin Tapi Bahagia, daripada Kaya tapi Gelisah”

Seiring perkembangan zaman, semakin banyak orang mempertanyakan bagaimana seharusnya agama dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah cukup hanya berdoa dan menghadiri peribadatan rutin, ataukah agama sejati harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang memberi manfaat bagi orang lain?

Agama dalam Perspektif Leo Tolstoy

Seneca: Jangan Menunggu Besok Jika Bisa Hidup Penuh Hari Ini

Leo Tolstoy bukan hanya dikenal sebagai penulis besar Rusia, tetapi juga sebagai seorang pemikir yang kritis terhadap doktrin agama yang hanya berfokus pada ritual tanpa esensi kemanusiaan. Ia melihat bahwa banyak orang menganggap diri mereka religius karena rajin beribadah, tetapi di sisi lain, mereka tidak peduli dengan penderitaan sesama.

Tolstoy meyakini bahwa agama seharusnya bukan hanya soal doa dan upacara, melainkan harus tercermin dalam bagaimana seseorang memperlakukan orang lain. Baginya, ajaran spiritual yang sejati adalah yang mengajarkan cinta kasih, keadilan, dan kepedulian terhadap sesama. Keyakinan ini sejalan dengan banyak penelitian yang menunjukkan bahwa praktik kebaikan sosial lebih berdampak positif pada kebahagiaan seseorang dibandingkan dengan sekadar menjalankan ritual ibadah tanpa keterlibatan sosial.

Filosofi Stoik: Solusi Abadi untuk Stres dan Tekanan Hidup Modern

Bukti Ilmiah: Kebaikan Sosial dan Kesejahteraan Manusia

Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Harvard Human Flourishing Program menunjukkan bahwa individu yang aktif dalam kegiatan sosial, seperti membantu sesama atau bekerja dalam komunitas amal, memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang hanya berfokus pada ibadah formal. Penelitian ini menemukan bahwa tindakan nyata, seperti memberikan bantuan kepada yang membutuhkan atau sekadar bersikap baik kepada orang lain, mampu meningkatkan hormon oksitosin yang berperan dalam menciptakan perasaan bahagia dan keterikatan sosial.

Temuan serupa juga didukung oleh riset dari American Psychological Association, yang menyatakan bahwa orang yang aktif dalam kegiatan sosial berbasis kepedulian memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan hubungan sosial yang lebih kuat. Dengan kata lain, menjalankan agama dalam bentuk tindakan nyata memberikan dampak yang jauh lebih besar dibandingkan sekadar menjalankan ritual tanpa keterlibatan sosial.

Ritual vs. Esensi: Mana yang Lebih Penting?

Tidak dapat disangkal bahwa ritual memiliki peran dalam agama. Ritual memberi struktur, identitas, dan perasaan keterhubungan dalam komunitas beragama. Namun, jika ritual dijalankan hanya sebagai kewajiban tanpa memahami esensinya, maka agama kehilangan makna sejatinya.

Seorang bisa saja rajin beribadah setiap hari, tetapi jika ia tidak peduli dengan orang lain, maka agamanya menjadi kosong. Tolstoy percaya bahwa agama harus hidup dalam bentuk kebaikan yang nyata. Memberi makan orang lapar, membantu yang sakit, dan bersikap adil terhadap orang lain adalah bentuk ibadah yang lebih bermakna dibandingkan sekadar menjalankan ritual tanpa perbuatan baik.

Kisah Nyata: Kebaikan yang Lebih Berarti dari Sekadar Ibadah

Ada banyak contoh nyata tentang bagaimana tindakan kebaikan lebih bermakna dibandingkan sekadar ritual keagamaan. Salah satunya adalah kisah Abdul Sattar Edhi, seorang filantropis dari Pakistan yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk membantu kaum miskin dan terlantar. Ia mendirikan Yayasan Edhi yang kini menjadi organisasi kemanusiaan terbesar di Pakistan.

Yang menarik, Edhi tidak pernah terlalu menekankan aspek ritual dalam agamanya. Baginya, membantu sesama adalah bentuk ibadah yang sejati. Ia selalu mengatakan bahwa agama bukan hanya soal membaca kitab suci atau berdoa, tetapi tentang bagaimana kita menjalankan ajaran tersebut dalam kehidupan nyata.

Kisah Edhi membuktikan bahwa tindakan nyata lebih bermakna daripada sekadar ritual. Ia bukan hanya dikenal sebagai seorang Muslim yang taat, tetapi juga sebagai sosok yang dihormati oleh semua agama karena kepeduliannya terhadap kemanusiaan.

Mengapa Tindakan Lebih Berarti?

Dalam banyak ajaran agama, inti dari spiritualitas sebenarnya adalah kebaikan hati. Yesus dalam ajaran Kristen mengajarkan kasih terhadap sesama. Nabi Muhammad dalam Islam menekankan pentingnya berbuat baik kepada tetangga dan orang yang membutuhkan. Buddha mengajarkan belas kasih sebagai jalan menuju pencerahan.

Namun, di dunia modern, masih banyak orang yang mengukur kesalehan seseorang hanya berdasarkan seberapa sering ia pergi ke tempat ibadah, seberapa panjang doanya, atau seberapa ketat ia mengikuti aturan agama. Tolstoy mengingatkan kita bahwa ukuran sejati dari religiusitas seseorang bukanlah seberapa rajin ia beribadah, tetapi bagaimana ia memperlakukan sesama manusia.

Tantangan dalam Menerapkan Agama yang Sejati

Meskipun filosofi Tolstoy tentang agama sebagai tindakan sosial terdengar ideal, kenyataannya banyak orang masih terjebak dalam pemikiran bahwa ritual adalah segalanya. Salah satu alasan utama adalah karena masyarakat cenderung mengajarkan agama dalam bentuk aturan dan kewajiban, bukan sebagai pengalaman spiritual yang harus diterjemahkan dalam tindakan.

Selain itu, ada tekanan sosial yang membuat banyak orang lebih fokus pada tampilan religius dibandingkan esensi sejati dari keimanan mereka. Tidak jarang seseorang merasa lebih dihormati karena tampak religius, meskipun dalam kehidupan sehari-hari ia tidak memiliki kepedulian terhadap sesama.

Tolstoy menekankan bahwa agama sejati bukan tentang bagaimana kita dilihat orang lain, tetapi tentang bagaimana kita bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi orang yang baik, adil, dan penuh kasih sayang jauh lebih penting daripada sekadar memenuhi kewajiban ritual.

Pemikiran Leo Tolstoy tentang agama menantang kita untuk melihat keimanan tidak hanya sebagai serangkaian ritual, tetapi sebagai panduan untuk berbuat baik kepada sesama. Agama yang sejati, menurutnya, bukanlah yang hanya berada di dalam tempat ibadah, tetapi yang tercermin dalam tindakan kita sehari-hari.

Penelitian ilmiah dan kisah nyata menunjukkan bahwa tindakan nyata dalam membantu sesama memberikan kebahagiaan yang lebih besar dibandingkan sekadar menjalankan ritual tanpa keterlibatan sosial. Agama tidak hanya harus menjadi kewajiban, tetapi harus menjadi kekuatan yang menggerakkan manusia untuk menciptakan dunia yang lebih baik.

Jadi, jika ingin hidup lebih bermakna, jangan hanya sibuk dengan ritual. Sebaliknya, mulailah menunjukkan agama sejati dalam tindakan nyata, karena itulah yang akan membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik bagi semua orang.