Materialisme ala Tan Malaka: Apakah Masih Relevan di Tengah Kehidupan Digital?
- Cuplikan layar
Serial Eksklusif: Membedah Pemikiran Tan Malaka dalam Madilog (Bagian 2)
Jakarta — Ketika hidup kita kini didominasi oleh dunia digital — media sosial, kecerdasan buatan, dan mata uang kripto — adakah tempat bagi filsafat kuno seperti materialisme dalam menjelaskan realitas? Tan Malaka, dalam mahakaryanya Madilog, justru menjadikan materialisme sebagai dasar berpikir yang rasional dan ilmiah. Tapi, bagaimana relevansi pandangan itu hari ini?
Di tengah derasnya arus informasi dan budaya instan, masyarakat Indonesia kerap terjebak pada ilusi digital — mempercayai apa yang tampak, bukan apa yang nyata. Tan Malaka menawarkan satu jalan pembebasan: memahami kenyataan berdasarkan materi yang nyata, bukan mitos, keyakinan buta, atau sensasi digital.
Apa Itu Materialisme dalam Madilog?
Materialisme yang dimaksud Tan Malaka bukan semata cinta harta atau kekayaan, melainkan filsafat yang berpijak pada kenyataan material (benda, proses, fakta fisik) sebagai dasar utama dalam memahami dunia. Dalam Madilog, ia menjelaskan bahwa segala sesuatu di dunia ini — termasuk pikiran, emosi, bahkan agama — berakar pada kondisi material.
Contohnya:
- Kemiskinan bukan disebabkan oleh kutukan, tapi karena distribusi kekayaan yang tidak adil.
- Kekuasaan politik bukan takdir, tapi hasil dari struktur ekonomi dan sosial.
- Agama dan budaya pun muncul dari kondisi sejarah dan material masyarakat.
Artinya, untuk mengubah keadaan, kita harus memahami dan mengubah materi nyata, bukan sekadar mengandalkan doa atau harapan kosong.
Mengapa Tan Malaka Memilih Materialisme?