Madilog dan Misi Besar Tan Malaka: Membebaskan Pikiran Bangsa dari Belenggu Mistik

Madilog, Tan Malaka
Sumber :
  • Cuplikan layar

 Artikel Khusus | Membedah Pemikiran Tan Malaka dalam MADILOG

René Descartes: "Untuk Memperbaiki Dunia, Kita Harus Terlebih Dahulu Memperbaiki Diri Kita Sendiri"

Jakarta — Dalam sejarah pemikiran bangsa Indonesia, sedikit tokoh yang mampu memadukan semangat kemerdekaan, pemikiran kritis, dan keberanian intelektual seperti Tan Malaka. Lewat karyanya yang monumental, MADILOG—singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika—Tan Malaka tidak hanya menawarkan kerangka berpikir ilmiah, tetapi juga melancarkan kritik tajam terhadap cara berpikir masyarakat yang menurutnya masih terjebak dalam dunia mistik, tahayul, dan dogma yang membelenggu nalar.

Artikel ini akan membahas secara sederhana dan mendalam mengenai misi besar Tan Malaka dalam buku Madilog, mengapa ia merasa perlu “membebaskan” cara berpikir masyarakat Indonesia, serta bagaimana relevansi pesan tersebut dalam kehidupan saat ini.

"Pencarian Pengetahuan Sejati Dimulai dengan Kerendahan Hati" — Pesan Abadi dari Socrates

Latar Belakang Kelahiran Madilog

Ditulis di masa pengasingannya di Sumatra Barat antara tahun 1942 hingga 1943, Madilog lahir dalam situasi yang jauh dari kemewahan. Buku ini ditulis Tan Malaka di tengah pelariannya dari kejaran kolonial, dalam keadaan hidup yang serba terbatas.

Dialektika Tan Malaka: Konflik, Perubahan, dan Pelajaran untuk Dunia Kerja Modern

Namun, keterbatasan tersebut tidak menghalangi semangatnya untuk menyampaikan pesan penting: bangsa Indonesia tidak akan bisa merdeka sepenuhnya jika masih berpikir secara mistik dan tidak rasional.

Dalam pengantar bukunya, Tan Malaka menyoroti kebiasaan masyarakat yang masih percaya bahwa segala sesuatu terjadi karena "takdir", "nasib buruk", atau "kuasa gaib", bukan karena sebab-akibat yang bisa dipahami secara logis.

Halaman Selanjutnya
img_title