Multatuli dan Perjuangannya Melawan Ketidakadilan: Dari Buku ke Revolusi Pemikiran
- Cuplikan Layar
Jakarta, WISATA- Pada pertengahan abad ke-19, seorang pegawai kolonial Belanda bernama Eduard Douwes Dekker, yang lebih dikenal dengan nama pena Multatuli, mengguncang dunia dengan karyanya yang berjudul Max Havelaar. Novel ini tidak hanya menjadi kritik tajam terhadap praktik kolonialisme di Hindia Belanda, tetapi juga memicu revolusi pemikiran yang berdampak luas hingga saat ini.
Latar Belakang Penulisan Max Havelaar
Multatuli, yang berarti "Aku telah banyak menderita" dalam bahasa Latin, adalah nama pena yang dipilih oleh Dekker untuk mencerminkan pengalamannya menyaksikan langsung penderitaan rakyat pribumi di Hindia Belanda. Sebagai asisten residen di Lebak, Banten, ia menyaksikan berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pejabat kolonial dan penguasa lokal terhadap masyarakat setempat. Kekecewaannya terhadap sistem kolonial mendorongnya untuk menulis Max Havelaar, yang diterbitkan pada tahun 1860.
Isi dan Kritik dalam Max Havelaar
Max Havelaar mengisahkan seorang asisten residen idealis bernama Max Havelaar yang berusaha melawan korupsi dan penindasan di wilayah tugasnya. Melalui tokoh ini, Multatuli mengecam sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang memaksa petani pribumi menanam komoditas ekspor seperti kopi dan gula, menggantikan tanaman pangan mereka. Sistem ini menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi rakyat, termasuk kelaparan dan kemiskinan.
Novel ini juga menyoroti sikap apatis dan korup dari pejabat kolonial yang lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada kesejahteraan rakyat. Melalui satir dan ironi, Multatuli mengkritik moralitas para penguasa kolonial dan menyerukan reformasi dalam sistem pemerintahan kolonial.
Dampak dan Pengaruh Max Havelaar