Kebangkitan Populisme Global: Dari Trump hingga Modi, Bagaimana Sofisme Modern Mempengaruhi Demokrasi?
- viva.co.id
Jakarta, WISATA - Dalam beberapa tahun terakhir, dunia telah menyaksikan kebangkitan populisme yang signifikan, ditandai dengan terpilihnya pemimpin-pemimpin seperti Donald Trump di Amerika Serikat dan Narendra Modi di India. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang bagaimana sofisme modern—seni retorika yang menekankan persuasi tanpa memperhatikan kebenaran objektif—telah memengaruhi dan mungkin mengancam prinsip-prinsip demokrasi.
Populisme dan Sofisme: Sebuah Hubungan Simbiotik
Populisme sering kali ditandai dengan retorika yang menekankan kedekatan dengan "rakyat biasa" dan penolakan terhadap "elite" yang dianggap korup atau tidak peduli. Pemimpin populis menggunakan strategi komunikasi yang sederhana namun efektif, sering kali mengandalkan narasi emosional dan simbolisme yang kuat untuk membangkitkan dukungan massa.
Sofisme modern berperan dalam menyediakan alat retorika bagi para pemimpin ini untuk membentuk opini publik. Dengan menggunakan argumen yang tampak logis namun menyesatkan, mereka dapat memanipulasi persepsi masyarakat dan mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih kompleks.
Kasus Donald Trump: Retorika yang Membelah Bangsa
Donald Trump, yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun 2016 dan kembali pada tahun 2024, adalah contoh nyata dari penggunaan sofisme dalam politik modern. Retorikanya sering kali mengandung klaim yang tidak terverifikasi, namun disampaikan dengan keyakinan yang kuat, sehingga mampu meyakinkan sebagian besar pemilih.
Sebagai contoh, Trump sering kali menyalahkan imigran ilegal atas berbagai masalah sosial dan ekonomi, meskipun data menunjukkan bahwa kontribusi mereka terhadap kejahatan dan pengangguran tidak sebesar yang ia klaim. Dengan menggunakan retorika yang menakut-nakuti dan membangkitkan emosi, ia berhasil menggalang dukungan dari kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.