Retorika Populis dalam Kampanye Politik: Apa Peran Kaum Sofis? Studi Kasus Trump di AS dan Modi di India
- viva.co.id
Jakarta, WISATA - Dalam politik modern, terutama dalam kampanye pemilihan umum, penggunaan retorika populis telah menjadi fenomena yang tak bisa dipandang sebelah mata. Retorika ini, yang berfokus pada "rakyat biasa" dan melawan "elite", telah digunakan oleh banyak politisi untuk meraih dukungan dan memperkuat basis pemilih mereka. Dua contoh paling mencolok dari penggunaan strategi populis ini adalah Donald Trump di Amerika Serikat dan Narendra Modi di India. Keduanya tidak hanya dikenal sebagai pemimpin populis, tetapi juga karena pendekatan mereka yang cenderung menggunakan retorika emosional yang bisa membangkitkan perasaan, ketakutan, dan kebanggaan nasionalisme di kalangan pendukungnya. Lalu, apa kaitan antara populisme ini dengan sofisme, dan bagaimana keduanya berperan dalam membentuk dunia politik kontemporer?
Retorika Populis: Definisi dan Karakteristik
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang peran kaum sofis dalam kampanye populis ini, penting untuk memahami apa itu populisme dan retorika populis itu sendiri. Populisme adalah pendekatan politik yang berusaha untuk menghubungkan diri dengan rakyat biasa, menggambarkan elit politik atau sosial sebagai musuh atau penghalang yang tidak peduli terhadap kepentingan rakyat. Populisme sering kali menggunakan bahasa yang mudah dipahami, mengandalkan emosi, dan mereduksi masalah kompleks menjadi solusi sederhana yang tampak lebih mudah diterima masyarakat.
Karakteristik retorika populis sering kali melibatkan beberapa elemen penting, antara lain:
1. Bahasa Sederhana dan Emosional: Politisi populis sering menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan mampu menggugah emosi audiens. Kalimat-kalimat yang provokatif dan mengundang simpati menjadi alat utama mereka.
2. Penyederhanaan Masalah Kompleks: Retorika populis sering menyederhanakan masalah-masalah kompleks dalam masyarakat, seperti masalah ekonomi atau sosial, menjadi solusi yang mudah dicerna oleh rakyat. Sebagai contoh, Trump menyederhanakan perdebatan tentang kebijakan imigrasi dengan menyebut imigran sebagai ancaman bagi keamanan nasional.
3. Musuh Bersama: Populisme sering kali menggunakan penciptaan musuh bersama—seperti imigran, media, atau kelompok elit tertentu—untuk menggalang dukungan dan memperkuat narasi perlawanan.