Mengapa Data NPWP Pejabat Bocor? Mengungkap Kelemahan Teknologi Perlindungan Data di Indonesia

Hacker (ilustrasi)
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA - Kasus kebocoran data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang mencakup data milik sejumlah pejabat negara memicu kehebohan di berbagai kalangan. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana bisa data yang seharusnya dilindungi dengan ketat bocor ke publik? Lebih dari sekadar pelanggaran privasi, kasus ini menguak kelemahan mendasar dalam teknologi perlindungan data di Indonesia. Apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana kelemahan ini bisa muncul?

Kebocoran Data NPWP: Apakah Sistem Keamanan Siber Indonesia Sudah Usang?

Seberapa Rentan Data di Indonesia?

Data NPWP merupakan salah satu data pribadi yang sangat sensitif karena bisa digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk penipuan dan pencurian identitas. Namun, insiden kebocoran ini bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Pada tahun 2021, data pengguna BPJS Kesehatan juga sempat bocor, mengakibatkan lebih dari 200 juta data pribadi dijual di pasar gelap.

UU ITE 2024: Mengancam atau Melindungi? Sorotan Penting dari Revisi Kedua UU ITE

Kelemahan yang sama tampaknya kembali terulang. Kebanyakan sistem di Indonesia masih bergantung pada teknologi keamanan yang sudah ketinggalan zaman dan tidak mampu menghadapi ancaman siber modern. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apa yang sebenarnya salah dengan sistem keamanan di negara ini?

Teknologi Perlindungan Data: Di Mana Kelemahannya?

Revisi UU ITE 2024: Apakah Ini Akhir dari Kebebasan Berpendapat di Dunia Digital?

Sistem perlindungan data di Indonesia masih menghadapi berbagai kelemahan, termasuk:

  1. Enkripsi yang Lemah: Banyak sistem masih menggunakan enkripsi dasar yang mudah ditembus oleh hacker. Dalam banyak kasus kebocoran data, hacker dapat menembus sistem dan mengakses data sensitif karena lapisan perlindungan yang digunakan tidak cukup kuat.
  2. Kurangnya Pemantauan Real-time: Sistem pemantauan keamanan siber di banyak instansi pemerintah dan perusahaan di Indonesia sering kali tidak berjalan secara real-time. Ini berarti, ketika serangan terjadi, sering kali terlambat untuk diidentifikasi dan dihentikan.
  3. Tidak Adanya Multi-Factor Authentication (MFA): Banyak institusi di Indonesia masih belum menerapkan MFA sebagai standar keamanan. MFA dapat menambah lapisan perlindungan ekstra yang mencegah akses tidak sah ke sistem yang berisi data sensitif.
  4. Ketergantungan pada Sistem Legacy: Banyak lembaga pemerintah dan swasta di Indonesia masih bergantung pada sistem lama (legacy system) yang tidak dirancang untuk menghadapi serangan siber modern. Sistem ini biasanya sulit di-update dan memiliki banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh hacker.
Halaman Selanjutnya
img_title