Dari JOMO ke Stoicisme: Bagaimana Filosofi dan Alam Bersatu untuk Kesehatan Mental
- Image Creator Bing/Handoko
Malang, WISATA - Di tengah kehidupan yang penuh tekanan dan kebisingan, banyak orang merasa terjebak dalam rutinitas sosial yang menuntut mereka untuk terus terhubung dan aktif. Namun, munculnya konsep-konsep seperti JOMO (Joy of Missing Out) dan Stoicisme menawarkan solusi untuk menemukan kedamaian mental yang lebih mendalam, yang menggabungkan kedamaian alam dengan filosofi klasik untuk meredakan stres.
JOMO: Menemukan Kebahagiaan dalam Kesendirian
Konsep JOMO, yang merupakan kebalikan dari FOMO (Fear of Missing Out), mengajak individu untuk menikmati ketenangan dan kesendirian tanpa merasa cemas akan kegiatan sosial yang mereka lewatkan. Fenomena ini berkembang seiring dengan meningkatnya kecemasan sosial akibat perkembangan teknologi dan media sosial yang memaksa orang untuk terlibat dalam berbagai tren. Dengan JOMO, orang belajar untuk tidak merasa terbebani oleh ekspektasi eksternal, dan fokus pada pencarian kedamaian dalam kesendirian.
Menurut beberapa penelitian, keinginan untuk terus berhubungan dengan dunia maya dan kehidupan sosial sering kali menyebabkan kecemasan yang berlebihan. Melalui JOMO, individu diajak untuk lebih menghargai waktu pribadi mereka, dan menikmati hidup tanpa harus selalu terlibat dalam keramaian. Konsep ini, yang juga sering disebut sebagai digital detox, telah menjadi pilihan banyak orang yang ingin mengurangi stres dan memperbaiki kesehatan mental mereka.
Stoicisme: Filosofi yang Menenangkan Pikiran
Sementara JOMO berfokus pada aspek sosial dan ketenangan pribadi, Stoicisme adalah filosofi kuno yang mengajarkan bagaimana mengelola perasaan dan berfokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan. Stoikisme mengajarkan untuk menerima kenyataan bahwa banyak hal di luar kontrol kita, dan dengan menerima ketidakpastian hidup, kita dapat mencapai ketenangan pikiran yang sejati.
Prinsip dasar Stoikisme menekankan pentingnya menjaga kedamaian batin dengan tidak terlalu bergantung pada hal-hal eksternal seperti materi atau opini orang lain. Menurut para filsuf Stoik, kebahagiaan tidak terletak pada pencapaian luar, tetapi pada cara kita merespons situasi yang ada. Penerapan prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari dapat membantu seseorang menjadi lebih resilien dalam menghadapi tantangan hidup.