Stoa dan Filsafat Stoik: Keteguhan Jiwa di Tengah Badai Kehidupan
- Image Creator Bing/Handoko
Jakarta, WISATA — Di tengah gemuruh krisis politik, ketidakpastian sosial, dan pergolakan batin yang melanda dunia Yunani kuno pasca-Aleksander Agung, lahirlah sebuah ajaran filsafat yang menawarkan keteguhan batin luar biasa: Stoisisme. Berawal dari serambi terbuka bernama Stoa Poikilê (Serambi Berwarna) di Athena, ajaran ini dirintis oleh Zeno dari Kition pada akhir abad ke-4 SM dan terus hidup hingga kini, menjadi pelita bagi mereka yang ingin hidup dengan tenang meski dikepung badai.
Stoa: Filsafat di Serambi Pasar
Berbeda dengan Akademi Plato yang cenderung elitis atau Taman Epikuros yang tertutup dan akrab, filsafat Stoik lahir di tengah keramaian, tepatnya di serambi yang terletak di Agora, pusat aktivitas publik di Athena. Dari tempat inilah Zeno mengajarkan ajarannya kepada siapa saja—pedagang, budak, prajurit, maupun seniman.
Ajaran Stoik mengajak manusia untuk menerima kenyataan dengan tenang, berpikir rasional, dan mengendalikan emosi. Intinya, Stoisisme meyakini bahwa kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi pada kita, tetapi kita bisa mengendalikan bagaimana kita meresponsnya.
Hidup Sesuai Alam dan Rasio
Filsafat Stoik dibangun di atas prinsip "hidup selaras dengan alam", bukan hanya alam fisik, tetapi juga kodrat rasional manusia. Menurut para Stoik, alam semesta diatur oleh logos—sebuah prinsip rasional dan tertib. Maka, kebajikan tertinggi manusia adalah menggunakan rasio untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan tatanan itu.