Metode Dialektika Socrates: Mengapa Pertanyaan Lebih Kuat dari Jawaban?

Socrates di Tengah Warga
Sumber :
  • Image Creator Bing/Handoko

Malang, WISATA – Di tengah hingar-bingar perdebatan politik dan kegamangan sosial Athena abad ke-5SM, muncul seorang tokoh yang mengubah wajah filsafat: Socrates (469–399SM). Bagi Socrates, kebenaran tidak ditemukan lewat jawaban siap saji, melainkan melalui serangkaian pertanyaan cermat. Dari pasar hingga ruang aula, ia menggugah kesadaran warga Athena dengan metode dialektikasebuah teknik bertanya yang kini dikenal sebagai metode Socratik. Artikel ini membahas mengapa pertanyaan menurut Socrates dianggap lebih kuat daripada jawaban, serta relevansinya bagi pendidikan dan perdebatan di era modern.

Kebebasan Berpikir Lahir dari Pengakuan bahwa Kita Tidak Tahu Segalanya: Pelajaran Abadi dari Socrates

Latar Belakang Metode Dialektika Socrates

Berlawanan dengan filsuf pra-Sokratik yang banyak menulis traktat kosmologis, Socrates tidak meninggalkan satu pun tulisan. Kita mengenalnya lewat catatan murid-muridnya—terutama Plato—yang merekam dialog-dialeknya dengan berbagai kalangan: politisi, pengrajin, hingga budak.

Socrates: “Orang yang Berpikir Dia Tahu Segalanya Sebenarnya Paling Tidak Tahu” — Peringatan Keras bagi Era Digital

Metode dialektika muncul sebagai respons atas kecenderungan manusia menerima informasi tanpa kritik. Socrates percaya bahwa:

1.     Banyak Jawaban Salah – Tanpa diuji, jawaban bisa menyesatkan.

"Pencarian Pengetahuan Sejati Dimulai dengan Kerendahan Hati" — Pesan Abadi dari Socrates

2.     Pertanyaan Membangun Kesadaran – Menyadarkan lawan bicara akan keterbatasan pengetahuan.

3.     Pengakuan Ketidaktahuan – Titik awal kebijaksanaan adalah menyadari bahwa kita belum tahu.

Melalui pendekatan ini, Socrates menegakkan bahwa pertanyaan kritis membuka ruang refleksi, membongkar prasangka, dan menuntun pada pemahaman yang lebih mendalam ketimbang sekadar menerima jawaban.

Halaman Selanjutnya
img_title