Ketika Timur dan Barat Bertemu: Dialog Filsafat antara René Descartes dan Al-Farabi tentang Akal, Tuhan, dan Kebenaran

René Descartes dan Al-Farabi
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Jakarta, WISATA - Apa jadinya jika seorang filsuf rasionalis asal Prancis bertemu secara intelektual dengan pemikir agung dunia Islam? René Descartes dan Al-Farabi memang hidup dalam dunia dan zaman yang berbeda, namun pemikiran mereka tentang akal, kebenaran, dan Tuhan menyentuh inti dari pencarian manusia sepanjang masa. Keduanya adalah tokoh monumental yang menjadikan rasionalitas sebagai pusat dari kehidupan manusia, namun dengan jalan dan tujuan yang tak selalu sama.

Bagaimana Aristoteles Mempengaruhi Ilmuwan Muslim Abad Pertengahan? Inilah Jejak Intelektualnya yang Luar Biasa

Mari kita menyelami percakapan lintas zaman ini—antara Descartes sang pencetus “Aku berpikir, maka aku ada,” dan Al-Farabi sang arsitek “Kota Utama” yang menempatkan akal dan moralitas sebagai fondasi masyarakat ideal.

Akal: Titik Awal Segala Sesuatu

25 Kutipan Terbaik René Descartes yang Mengubah Pola Pikir Dunia

Descartes memulai segalanya dari keraguan. Ia menggugat semua keyakinan, bahkan hingga keberadaan dunia fisik. Namun, dari kehampaan itu, ia menemukan satu kepastian: “Aku berpikir, maka aku ada.” Pikiran menjadi bukti paling awal dan paling nyata akan eksistensinya.

Sementara itu, Al-Farabi menenun filsafatnya melalui pengaruh Plato, Aristoteles, dan tradisi Islam. Ia melihat akal sebagai cahaya ilahi yang mampu membimbing manusia menuju realitas tertinggi. Dalam pemikirannya, akal tidak hanya menjawab keraguan, tapi juga menyusun struktur kosmos dan moral.

René Descartes: Filsuf Abad ke-17 yang Tetap Relevan di Era Digital

Meski berbeda jalan, keduanya setuju: akal adalah kunci menuju pengetahuan sejati.

Tentang Tuhan: Jaminan Kebenaran atau Sumber Segala Keberadaan?

Descartes memerlukan Tuhan untuk menyelamatkan akal dari jebakan tipuan. Menurutnya, Tuhan adalah jaminan bahwa pikiran manusia tidak sedang disesatkan oleh kekuatan jahat. Tuhan memastikan bahwa hukum-hukum logika yang digunakan manusia dapat dipercaya.

Di sisi lain, Al-Farabi menempatkan Tuhan sebagai awal dari segala wujud, dari mana semua realitas mengalir. Bagi Al-Farabi, Tuhan bukan hanya penjamin logika, tapi sumber kebaikan, keindahan, dan tatanan dunia.

Descartes memerlukan Tuhan agar manusia dapat berpikir dengan benar. Al-Farabi menjadikan Tuhan sebagai poros bagi seluruh tatanan moral, sosial, dan metafisik.

Masyarakat Ideal: Jalan Kesalehan Individual atau Kota yang Berpijak pada Kebajikan?

Filsafat Descartes tidak banyak berbicara soal masyarakat. Ia lebih menekankan kesalehan individual melalui rasio, menjadikan pikiran pribadi sebagai pusat pembentukan etika.

Berbeda dengan itu, Al-Farabi memimpikan sebuah masyarakat yang adil dan tercerahkan dalam konsep Al-Madina Al-Fadila (Kota Utama). Dalam kota ini, pemimpin ideal adalah seorang filsuf yang telah menyatu dengan akal aktif, menjadikan kebijaksanaan dan spiritualitas sebagai fondasi kepemimpinan.

Descartes menekankan transformasi diri, sementara Al-Farabi berbicara tentang transformasi masyarakat.

Jalan Menuju Kebenaran: Keraguan atau Keselarasan Kosmis?

Descartes menggunakan keraguan sebagai metode. Ia membongkar segala kepercayaan untuk membangun pengetahuan baru dari dasar yang paling pasti. Inilah yang disebutnya sebagai keraguan metodis.

Al-Farabi tidak memulai dari keraguan. Ia justru membangun pengetahuan dalam kerangka harmoni universal—dari Tuhan, ke alam akal, lalu turun ke dunia fisik. Tidak ada dekonstruksi dalam filsafatnya, melainkan sintesis dan tatanan.

Jika Descartes adalah pembangun rumah filsafat dari batu pertama, Al-Farabi adalah arsitek yang menyatukan warisan Timur dan Barat ke dalam satu bangunan megah yang menyeluruh.

Keduanya Mengajarkan Kita Hal yang Sama: Berpikir adalah Tindakan Spiritual

Apa yang bisa kita pelajari dari dialog filsafat ini? Bahwa baik Descartes maupun Al-Farabi percaya, berpikir bukan hanya tindakan intelektual, tapi juga tindakan spiritual dan moral. Akal tidak hanya membawa kita pada kebenaran, tetapi juga pada kebajikan dan keadilan.

Filsafat mereka adalah pengingat, bahwa di tengah dunia yang penuh kebisingan, berpikir jernih dan mencari kebenaran tetaplah tindakan paling radikal dan mulia.