Menyelami Filsafat René Descartes: Dari Keraguan Menuju Kepastian

René Descartes
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Malang, WISATA - René Descartes (1596–1650) dikenal luas sebagai pelopor filsafat modern. Ia menggabungkan pemikiran rasional dan logika matematis untuk menata ulang landasan pengetahuan manusia. Kutipan-kutipan terkenalnya seperti “Aku berpikir, maka aku ada,” hingga “Keraguan adalah awal dari kebijaksanaan,” membuka pintu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang eksistensi, Tuhan, dan struktur pemikiran rasional. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri makna dari beberapa pemikirannya yang paling mendalam.

21 Kutipan Albert Camus: Sastrawan dan Filsuf yang Mengajak Manusia untuk Hidup dalam Keberanian dan Kesadaran

“Aku berpikir, maka aku ada.” (Cogito, ergo sum)

Kutipan ini adalah batu fondasi dari filsafat Descartes. Ia memulai pencarian kebenaran dengan meragukan segala sesuatu—indera, dunia luar, bahkan tubuhnya sendiri. Namun, satu hal yang tidak bisa ia ragukan adalah keberadaan dirinya sebagai subjek yang berpikir. Dari sinilah ia menyimpulkan bahwa eksistensinya terjamin melalui aktivitas berpikir.

Kebebasan Berpikir Lahir dari Pengakuan bahwa Kita Tidak Tahu Segalanya: Pelajaran Abadi dari Socrates

Pernyataan ini menjadi revolusioner karena menjadikan subjektivitas sebagai titik awal seluruh pengetahuan. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, Descartes mengajarkan bahwa kesadaran kita akan berpikir adalah bukti mutlak dari keberadaan kita.

Keberadaan Tuhan adalah satu-satunya yang menjamin kebenaran pikiran kita.”

René Descartes: "Untuk Memperbaiki Dunia, Kita Harus Terlebih Dahulu Memperbaiki Diri Kita Sendiri"

Bagi Descartes, Tuhan bukan hanya entitas spiritual, tetapi juga dasar epistemologis. Tanpa Tuhan yang sempurna, manusia tidak bisa yakin bahwa pikirannya dapat dipercaya. Pikiran manusia bisa saja tertipu oleh kekuatan eksternal—dan hanya keberadaan Tuhan yang baik dan sempurna yang menjamin bahwa akal tidak menyesatkan.

Pemikiran ini menunjukkan bahwa Descartes tidak menempatkan akal secara mutlak di atas segalanya, melainkan masih bergantung pada fondasi teologis sebagai jaminan keandalan nalar.

Halaman Selanjutnya
img_title