Kalam Ramadan: Imam Al-Ghazali dan Perjalanan Menemukan Hikmah Hidup
- Image Creator Grok/Handoko
Menyelami Keteladanan Sang Hujjatul Islam dalam Menapaki Jalan Menuju Allah
Malang, WISATA - Bulan Ramadan adalah waktu yang penuh berkah, di mana setiap detik menjadi peluang untuk menyucikan hati, memperdalam ilmu, dan memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta. Dalam suasana suci ini, umat Islam diajak untuk tidak hanya meningkatkan ibadah lahiriah, tetapi juga melakukan kontemplasi atas kehidupan. Salah satu tokoh besar dalam sejarah Islam yang perjalanannya menggambarkan pencarian hakikat hidup adalah Imam Al-Ghazali. Beliau bukan hanya seorang ulama, tetapi juga seorang pencari kebenaran yang rela meninggalkan kedudukan dan kemasyhuran demi menemukan makna hidup sejati.
Imam Al-Ghazali mengajarkan bahwa ilmu sejati bukan hanya yang memenuhi pikiran, tetapi yang menyentuh hati dan membawa seseorang lebih dekat kepada Allah SWT. Melalui buku-bukunya yang penuh hikmah, terutama Ihya’ Ulumuddin, ia mengingatkan bahwa keberhasilan dunia dan akhirat harus dibangun di atas pondasi keikhlasan, kerendahan hati, dan penyucian jiwa. Ramadhan menjadi momen terbaik untuk meneladani perjuangan beliau: meninggalkan kebisingan dunia, memurnikan niat, dan menyelami makna kehidupan melalui zikir, tafakur, dan penghambaan yang tulus.
Mengenal Imam Al-Ghazali: Sang Pembaru Ilmu dan Spiritualitas
Imam Al-Ghazali, yang memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali At-Thusi, lahir pada tahun 1058 M di kota Tus, Persia (sekarang Iran). Beliau dikenal sebagai “Hujjatul Islam” karena kemampuan luar biasanya dalam menyelaraskan ilmu syariat, filsafat, dan tasawuf. Dalam dunia akademik, Al-Ghazali adalah tokoh yang menguasai berbagai cabang ilmu—fiqih, ushul, kalam, filsafat, hingga logika.
Namun, meskipun telah mencapai puncak karier sebagai profesor di Universitas Nizamiyah Baghdad—salah satu lembaga pendidikan paling prestisius saat itu—Al-Ghazali justru mengalami krisis spiritual yang mendalam. Ia merasa jiwanya gersang, meski ilmu mengalir deras dalam pikirannya. Dalam bukunya Al-Munqidz min ad-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan), ia menggambarkan kegelisahan batinnya dan keputusan besar yang ia ambil: meninggalkan jabatan, harta, dan ketenaran untuk mengasingkan diri dan mencari hikmah hidup sejati.