Perang Kaputren: Ketika Perempuan Ikut Bertempur
- Image Creator Grok/Handoko
Jakarta, WISATA - Artikel ini ditulis berdasarkan dokumen berjudul Gedenkschrift van den oorlog op Java, 1825-1830, yang merupakan terjemahan dari bahasa Prancis ke bahasa Belanda oleh Letnan Kolonel H. M. Lange. Buku ini adalah laporan mengenai Perang Jawa (1825-1830) yang ditulis oleh Jhr. F. V. A. Ridder de Stuers, seorang perwira militer Belanda yang berpartisipasi dalam konflik tersebut. Buku ini mengisahkan Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro melawan pemerintahan kolonial Belanda. Artikel ini merupakan artikel kesembilan belas dari tiga puluh artikel yang direncanakan akan dimuat secara berseri.
Pengantar: Perempuan sebagai Pejuang di Tengah Gejolak Perang
Di balik hiruk-pikuk pertempuran dan strategi militer yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki, terdapat satu babak yang kerap terlupakan namun memiliki nilai sejarah yang luar biasa. Perang Kaputren merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan peran serta perempuan dalam Perang Jawa, di mana mereka tidak hanya sebagai saksi bisu, melainkan ikut turun ke medan pertempuran. Dalam situasi yang penuh dengan penindasan dan kekerasan, perempuan memilih untuk bangkit, berjuang, dan memberikan kontribusi nyata dalam melawan penjajahan Belanda.
Keikutsertaan perempuan dalam perang ini menunjukkan bahwa semangat perjuangan tidak mengenal batas gender. Meski berada dalam lingkungan yang sangat patriarkal, perempuan di Jawa mengambil peran aktif sebagai pejuang, menyediakan logistik, bahkan ikut terlibat dalam pertempuran langsung. Artikel ini akan mengulas secara mendalam bagaimana peran perempuan dalam Perang Kaputren menjadi bagian penting dari perlawanan melawan penjajahan, serta bagaimana keberanian dan pengorbanan mereka turut mewarnai sejarah perlawanan di Nusantara.
1. Latar Belakang Peran Perempuan dalam Perang Jawa
a. Konteks Sosial dan Budaya Jawa
Dalam masyarakat Jawa pada masa itu, peran perempuan umumnya dibatasi pada ranah domestik. Namun, di balik norma dan tradisi yang tampak konservatif, terdapat nilai-nilai kearifan lokal yang memberikan ruang bagi perempuan untuk menunjukkan kekuatan batin dan ketahanan dalam menghadapi cobaan. Perempuan Jawa dikenal memiliki semangat gotong royong dan kepedulian yang tinggi terhadap keluarga serta komunitasnya.