Peneliti Menemukan Gen 'Toleransi terhadap Laktosa' Orang Asia Timur Berasal dari Neanderthal
- pixabay
Malang, WISATA – Sebuah tim kecil ahli biologi komputasional dan evolusi dari Universitas Akademi Ilmu Pengetahuan Cina, Rumah Sakit Zhongshan dan Institut Max Planck untuk Antropologi Evolusi, melaporkan bahwa gen laktase unik yang dibawa oleh sekitar 25% orang Asia Timur mungkin diwarisi dari Neanderthal.
Dalam penelitian mereka yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, kelompok tersebut membandingkan gen ribuan orang keturunan Afrika, Asia Timur dan Eropa satu sama lain dan kemudian dengan gen Neanderthal.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa banyak orang keturunan Eropa membawa gen yang memungkinkan mereka mencerna gula (laktosa) yang ada dalam susu dengan mudah, sangat berbeda dengan orang keturunan Asia Timur, yang cenderung memiliki persentase intoleransi laktosa yang tinggi. Namun, dalam upaya baru ini, tim peneliti menemukan versi unik gen laktase pada beberapa orang Asia Timur beserta bukti bahwa gen tersebut mungkin berasal dari perkawinan silang antara manusia dan Neanderthal ribuan tahun yang lalu.
Para peneliti membandingkan ribuan genom yang dikumpulkan dari orang-orang yang diketahui memiliki keturunan Eropa, Afrika atau Asia Timur, untuk mencari kesamaan antara orang-orang yang tidak toleran terhadap laktosa dan mereka yang tidak. Mereka menemukan bahwa sekitar 25% sampel Asia Timur yang diteliti membawa versi gen laktase yang tidak ditemukan pada gen orang Afrika atau Eropa.
Hal itu mendorong mereka untuk membandingkan gen laktase dari Asia Timur dengan gen dari Neanderthal. Mereka menemukan bahwa gen dalam sampel Asia Timur kemungkinan berasal dari Neanderthal. Hal ini karena gen tersebut muncul pada manusia purba sebelum mereka mulai minum susu hewan peliharaan seperti sapi, yang mengesampingkan hal itu sebagai sumber seleksi.
Dengan meneliti bagaimana Neanderthal mungkin mengembangkan gen laktase, tim menemukan bukti bahwa gen tersebut mungkin memberikan sejumlah perlindungan terhadap infeksi, sebuah temuan yang juga menjelaskan mengapa gen tersebut tetap ada pada orang Asia Timur lama setelah hilangnya Neanderthal.